Sabtu 06 May 2017 12:56 WIB

Doli Sebut Ada Dua Makna Penting dalam Aksi Simpatik 55

Rep: Dea Alvi Soraya/ Red: Andi Nur Aminah
Peserta Aksi Simpatik 55 melaksanakan shalat Jumat sebelum mengikuti longmarch ke Gedung Mahkamah Agung, Jumat (5/5).
Foto: Edwin Dwi Putranto/Republika
Peserta Aksi Simpatik 55 melaksanakan shalat Jumat sebelum mengikuti longmarch ke Gedung Mahkamah Agung, Jumat (5/5).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tokoh muda Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia mengatakan, Aksi Bela Islam keempat atau yang disebut Aksi Simpatik 55 yang dilakukan Jumat (5/5) kemarin merupakan puncak dari betapa ummat Islam sangat berjiwa besar serta mencintai NKRI dengan semua sistem kenegaraan yang berlaku. Dalam aksi itu, menurut dia ada dua aktivitas penting dan bermakna yang perlu dicermati. 

Pertama, aktivitas ritual shalat Jumat berjamaah yang dilanjutkan doa dan zikir sebagai bentuk bermunajat atau bermohonnya ummat Islam agar proses hukum terhadap terdakwa penista agama, melalui hakim perkara ini dapat diputuskan dengan seadil-adilnya pada Sidang Selasa, (9/5) nanti. “Semoga proses hukum diberi keputusan yang terbaik dari Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa,” ujar Doli, Sabtu (6/5) siang.

Kedua, peserta aksi dengan sengaja mengirimkan delegasi untuk menemui pimpinan Mahkamah Agung (MA) untuk memberikan dukungan terhadap institusi penegak hukum tersebut agar bisa ikut menciptakan kondisi yang kondusif bagi proses persidangan. “Utamanya bagi para hakim untuk bisa tetap independen, imparsial, serta bebas dari intervensi pihak manapun,” tambah dia.

Secara teknis hukum, menurut Doli, ummat Islam hanya meminta hakim dapat menyimpulkan dan memutuskan berdasarkan fakta-fakta persidangan yang selama ini digelar dan terbuka diketahui oleh publik. Dia menyatakan, pimpinan MUI, NU, Muhammadiyah, ahli agama, ahli bahasa, serta ahli terkait lainnya telah menyampaikan pandangannya terhadap penistaan agama yang dilakukan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). 

Sehari sebelumnya, Doli mengatakan, delegasi juga telah mendatangi Ketua Komisi Yudisial untuk menyampaikan harapan yang sama untuk ikut mengawasi hakim untuk tetap berada pada posisi mempertimbangkan rasa keadilan, hati nurani, peraturan perundangan yang berlaku, di dalam mengambil keputusan, bukan berdasarkan tekanan, intimidasi, apalagi intervensi pihak manapun termasuk kekuasaan. Itu semua, lanjut dia adalah bentuk dari apresiasi serta masih adanya kepercayaan yang kuat dari ummat Islam terhadap sistem hukum di Indonesia.

“Atas peristiwa itu, yang ingin saya tegaskan adalah benar dan tidak bisa dibantah bahwa ummat Islam tersinggung dan marah agamanya dinistakan, kitab sucinya dilecehkan, ulamanya diremehkan dan dihina,” ungkap Doli. 

Dia menegaskan, ummat Islam turun aksi untuk membela agamanya, kitab sucinya, dan ulamanya. Ummat Islam juga tegas untuk menjaga wibawa, harkat dan martabat agamanya, kitabnya, dan ulamanya. 

“Kemarin ummat Islam juga telah menunjukkan tekadnya untuk ikut tetap menjaga wibawa, harkat dan martabat Indonesia sebagai Negara Hukum, berjalannya sistem hukum, serta penegakan hukum di Indonesia,” tambah dia.

Hukum di Indonesia, kata Doli tidak boleh kalah dengan kepentingan satu atau sekelompok orang yang ingin memporak porandakan hukum dan keadilan dengan kepentingan mereka.  Bila itu terjadi, kata dia, maka bukan hanya MUI, NU, dan Muhammadiyah yang mengalami delegitimasi, namun Indonesia sebagai Negara Hukum pun ikut ter-delegitimasi.  “Hukum kehilangan wibawa, harkat dan martabatnya di mata rakyat dan dunia,” ucap dia.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement