REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Sastrawan legendaris Indonesia, Taufik Ismail mengaku miris dengan menurunnya tingkat literasi pelajar Indonesia dewasa ini. Dahulu, Taufiq bercerita, saat ia masih muda, siswa SMA sederajat diwajibkan menamatkan 25 judul buku dan membuat 108 karangan selama tiga tahun masa sekolah.
Hal ini disampaikan Taufiq saat menjadi pembicara pada Cangkrukan Multidisipliner Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Gazebo Forum yang digelar di area gazebo perpustakaan pusat UMM, akhir pekan lalu.
Sastrawan bergelar Datuk Panji Alam Khalifatullah ini memberi apresiasi pada UMM Gazebo Forum sebagai wahana penguatan literasi. Kegiatan ini merupakan kolaborasi antara Humas UMM dengan program studi Pendidikan Bahasa Indonesia dalam rangka memperingati Hari Puisi Nasional yang jatuh pada 28 April. Acara ini selanjutnya dirangkai dengan Lomba Cipta Puisi dan Baca Seribu Puisi oleh para siswa SMA sederajat se-Jawa Timur yang digelar malam harinya.
Di forum ini, Taufiq Ismail mengeluarkan ‘unek-uneknya’ tentang dunia literasi sastra. Indonesia, lanjutnya, terhitung sudah separuh abad menderita akibat miskin membaca. “Paradigma baru yang berkembang sekarang mengarahkan pelajar lebih banyak gandrung pada media sosial. Kebijakan terbaru, siswa SD diwajibkan menamatkan toga judul buku sastra selama masa sekolah, SMP enam judul buku, dan SMA 15 judul buku. Tapi nyatanya, ini jauh dari tercapai, bahkan 0 buku yang dibaca siswa. Ini menyedihkan sekali,” ujar pria kelahiran Bukittinggi ini.
Padahal, melalui sastra manusia tak hanya menuliskan untaian kata-kata, tapi juga pengungkapan isi pikiran. Pikiran akan terbarukan dengan menulis dan membaca karya sastra, puisi misalnya. Puisi sarat akan nilai-nilai moral, intelegensi, dan estetika. Puisi masuk dalam tiap ruang kehidupan. “Definisi, sejarah, dan teori sastra itu bukan yang utama, tapi minat membaca dan nilai yang didapatnya,” ujar Taufiq.
Bangsa Indonesia sudah menjadi bangsa yang rugi karena mengalami penurunan yang jauh dalam hal literasi sastra. Dia mengatakan, pelajar harus mengembalikan hal ini melalui transformasi literasi. "Mulailah membaca dan menulis sastra, melalui kebiasaan menulis buku harian, ini akan memupuk semangat menulis. Membaca, membaca, membaca. Mengarang, mengarang, mengarang,” pesan Taufiq pada para pelajar.
Sementara itu, narasumber kedua, Arif Budi Wurianto mengisahkan tentang Kartini yang dipingit pada zamannya. Kakak kandung Kartini, Sosrokartono miris melihat adiknya tak bisa mengenyam pendidikan seperti dirinya akibat terbelenggu budaya yang mengimani bahwa perempuan harus dipingit sampai menikah.
“Tubuhmu boleh dipingit, tapi yang bebas adalah pikiranmu. Bebaskan pikiranmu dengan membaca,” pesan Sosrokartono pada Kartini disampaikan Arif Budi di hadapan ratusan siswa SMA se-Malang Raya dan mahasiswa yang hadir.
Sastra di mata Arif yang juga kepala unit Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing (BIPA) adalah sebuah gejala kebudayaan. Berbicara budaya berarti berbicara nilai humanisme dan pengharkatan manusia. Melalui aktivitas membaca dan menulis sastra, manusia akan terhalau untuk menjadi insan bermartabat. Menulis sastra adalah peluang mengekspresikan diri tanpa tekanan.