REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Bidang Pengkajian Perlindungan Anak, Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Indonesia, Amsyarnedi, mempertanyakan pernyataan Menteri PPPA, Yohana Yembise yang menyebut adanya penurunan kasus kekerasan terhadap anak pasca ditetapkan UU pemberatan sanksi terhadap pelaku kekerasan seksual anak (kebiri).
Amsyarnedi mengingatkan peristiwa perkosaan yang menimpa seorang anak berusia 12 tahun di Asahan, Sumatra Utara, pada Jumat (21/4) kemarin. Bocah berinisial J tersebut diculik saat sedang tidur pulas, diperkosa, lalu dibuang di ladang sawit. Tapi dengan perkasa anak itu bangkit, berdiri, dan berjalan ke perkampungan terdekat.
"Kejadian di Asahan tersebut memantik pertanyaan tentang seberapa benar sesungguhnya pernyataan Menteri PPPA bahwa kasus kekerasan terhadap anak menurun sejak ada UU tentang pemberatan sanksi (kebiri)," ucap Amsyarnedi, kepada Republika.co.id, Senin (24/4).
Ia menyampaikan basis data tentang perlindungan anak belum terbangun secara baik. Tiap lembaga punya basis data masing-masing, dengan metode berlainan, dan tidak terintegrasi satu sama lain. Malah, menurutnya ada tokoh dan organisasi perlindungan anak tertentu yang datanya tentang kekerasan terhadap anak sepenuhnya rekayasa.
Jika jumlah kasus menurun seperti pernyataan Menteri PPPA, Amsyarnedi menilai boleh jadi itu justru kabar buruk. Jumlah kasus berdasarkan kejadian tidak akan pernah diketahui. Dalam kasus kekerasan seksual terhadap anak berlaku asumsi puncak gunung es.
Adapun, jumlah kasus berdasarkan laporan, yang sangat mungkin menjadi acuan Menteri PPPA, jika angkanya terus mendaki justru lebih baik. Menurut Amsyarnedi, kenaikan jumlah laporan itu penanda bahwa korban dan masyarakat lebih berani melapor, media lebih intens memberitakan, dan polisi lebih serius melakukan penanganan.
Kritik terhadap pernyataan Menteri PPPA di atas juga memunculkan pertanyaan tentang seberapa jauh partisipasi masyarakat dalam menentukan naik turunnya jumlah laporan.
Di lain sisi, Ketua Bidang Pengkajian Perlindungan Anak LPA ini menambahkan, masyarakat hirau pada naik turunnya jumlah kasus dan pelaku, tapi belum cukup peduli bicara tentang naik turunnya kasus dalam pengertian jumlah korban.
Jumlah korban yang terehabilitasi, yang mendapat restitusi, yang kasusnya diselesaikan lewat jalur non-yudisial, serta berhasil menjadi penyintas belum mendapat perhatian serius.
"Padahal jumlah kasus yang berfokus pada korban adalah jauh lebih penting. Yaitu agar negara punya kesiapan lebih besar menggerakkan anggaran dan program yang ditujukan untuk menyelamatkan korban," tutur Amsyarnedi.
Ia menambahkan, Lembaga Perlindungan Anak Indonesia saat ini tengah mengembangkan aplikasi perlindungan anak berbasis ponsel. Harapannya, aplikasi ini bisa memfasilitasi kepedulian masyarakat agar mampu memberikan tanggapan dan aksi secepat mungkin terhadap situasi-situasi kritis yang dialami anak.