Kamis 20 Apr 2017 04:32 WIB

Kemenangan Anies-Sandiaga

Calon gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengisi masa tenang Pilkada DKI putaran kedua dengan menemui relawannya di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, Ahad (16/4). Anies datang ke lokasi acara dengan mengendarai vespa bersama putra bungsunya, Ismail Hakim.
Foto: Republika/Mas Alamil Huda
Calon gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengisi masa tenang Pilkada DKI putaran kedua dengan menemui relawannya di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, Ahad (16/4). Anies datang ke lokasi acara dengan mengendarai vespa bersama putra bungsunya, Ismail Hakim.

Oleh: Amien Rais*

Alhamdulillahi Rabbil 'alamin. Pilkada DKI putaran kedua telah usai. Berdasarkan quick count beberapa lembaga survei, pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno keluar sebagai pemenang dengan selisih suara yang cukup meyakinkan. Berdasarkan pengalaman dari semua pileg, pilpres, dan pilkada, perhitungan manual KPU/KPUD akhirnya selalu cocok dengan hasil quick count.

Para pendukung Anies-Sandiaga, bersyukurlah kepada Allah SWT, namun jangan longgarkan kewaspadaan. Terus awasi perjalanan kotak suara, cocokkan dengan hasil per TPS yang sudah dimiliki agar tidak terjadi kecurangan. Jangan lengah sekejap pun. Sampai pengumuman resmi KPUD DKI.

Kita semua harus waspada terhadap kelompok manusia yang menghalalkan segala cara. Bisa saja mereka bermata gelap, membuat keributan dengan segala macam bentuk karena malu, marah, kecewa, geram, panik, dan kehilangan akal waras. Tetapi saya yakin, ini hanya kekhawatiran belaka, karena melihat pelanggaran masif dari pendukung salah satu calon sebelum hari H pemilihan.

Pelajaran terpenting dari kemenangan Anies dan Sandi dan kekalahan Ahok-Djarot adalah bahwa kehendak Allah SWT tidak mungkin diungguli dengan cara apa pun. Bila Allah SWT sudah berkehendak untuk mencabut kekuasaan dari seorang manusia, maka uang, ancaman moncong bedil, iming-iming keduniaan yang hampa makna, pemasaran fitnah keji secara sistematik dan sebagainya pasti berakhir sia-sia.

Alquran menggambarkan perbuatan orang-orang yang tidak percaya pada Tuhan dengan sebuah permisalan. Orang-orang kafir selalu melihat tujuan “perjuangan” mereka bagaikan orang haus melihat fatamorgana. Ketika berhasil mendekat fatamorgana itu, ternyata mereka hanya mendapati angan-angan kosong. Ternyata mereka telah menipu diri sendiri. Dan yang menakutkan adalah bahwa Tuhan akan membuat perhitungan  adil dan memberikan hukuman setimpal pada manusia-manusia kafir itu kelak di hari akhir. Dan Allah Mahateliti dalam membuat perhitungan (Alquran 24: 39).

Kedua, Pemerintah Jokowi kini menghadapi dua pilihan. Pilihan pertama, menerima keputusan rakyat Jakarta dengan ikhlas dan legawa. Sekalipun mungkin tidak sesuai dengan harapan Bung Jokowi. Segera hentikan pembiaran kriminalisasi ulama dan umat Islam yang mungkin akan terus terjadi. Pilihan kedua, ikut kaget dan marah dan menyusun langkah-langkah retaliasi (memukul balik) secara hantam-kromo. Tangan-tangan kotor itu cukup banyak di tengah masyarakat kita yang sudah didera dengan kebejatan akhlak.

Pilihan kedua ini otomatis akan menghancurkan demokrasi yang sudah susah payah kita bangun bersama. Saya tidak berani meramalkan apa yang akan terjadi bila seandainya pilihan rakyat Jakarta yang sah sesah-sahnya akan diacak-acak lewat kekuasaan. Semoga tidak.

Pilihan pertama tentu lebih baik, lebih anggun dan cocok sepenuhnya dengan mekanisme dan moral demokrasi. Ratusan berita hoax, ribuan tulisan dan ujaran kebencian yang dilancarkan di media sosial, yang sempat memecah belah masyarakat Indonesia, sebaiknya segera diakhiri. Ratusan cyber troops yang digaji untuk memproduksi penjungkirbalikan fakta, untuk menghina beberapa tokoh yang tidak disukai, dan dengan enteng memasyarakatkan fitnah keji, seyogianya segera dihentikan.

Carikanlah pekerjaan yang halal dan penuh berkah buat mereka. Pekerjaan yang menghadirkan maslahah dunia dan akhirat. Kreativitas yang selama ini digunakan untuk memproduksi informasi hoax, ungkapan-ungkapan kasar dan keji dan membingungkan masyarakat, arahkan ke hal-hal yang positif. Kreativitas itu dapat dikembangkan di berbagai bidang yang menghasilkan rezeki halal.

Ketiga, khusus untuk tokoh-tokoh Muslim yang membela Ahok dari yang samar-samar sampai yang membuat umat Islam tercengang-cengang, saya sampaikan imbauan sederhana. Mari kita kubur silang-sengketa di antara kita yang hampir membelah umat Islam Indonesia gara-gara hasil ijtihad berbeda mengenai posisi Ahok di mata agama kita. Perjuangan UII (umat Islam Indonesia) di republik yang kita cintai bersama ini masih panjang. Untuk mengangkat posisi UII supaya tidak menjadi warga negara kelas dua secara permanen, memerlukan stamina dan kekuatan ukhuwah yang prima.

Khusus buat para penggerak aksi bela Islam dan jutaan alumninya, doa kita agar si penista agama yang hampir berhasil memorak-porandakan UII agar dikenakan hukum yang adil insya Allah juga akan terkabul. Para ulama dan habaib yang telah berhasil membangunkan kesadaran UII untuk mencintai agamanya dan memberi contoh kepada anak-anak bangsa bahwa Islam mengajarkan salam, perdamaian, kerukunan, saling menghargai, dan tasamuh (saling toleransi) telah membawa hasil.Bersatu-padulah kembali, kami yang tua-tua akan mengikuti antum semua. Jangan mau dipecah belah.

Nasihat Pak Natsir, perdana menteri kelima Indonesia, tokoh Islam internasional, tokoh Masyumi, dan pahlawan nasional, ada baiknya kita simak bersama. Almarhum pernah menasihati tokoh-tokoh Islam bahwa memperjuangkan kebenaran sesuai tuntunan Islam itu ibarat berjalan jauh. Berjalan jauh menuju cita-cita luhur kemerdekaan Indonesia.

Nah, dalam berjalan jauh itu, kekuatan lutut kita masing-masing berbeda-beda. Ada yang baru berjalan 3 km sudah lelah, lantas mengundurkan diri. Ada yang sudah setengah jalan, lututnya mulai kejang-kejang, juga mengundurkan diri. Bahkan ada yang sudah tiga perempat perjalanan juga pamit karena tidak tahan lagi. Namun yang penting, kata Pak Natsir, kafilah UII terus saja berjalan, karena pertolongan Allah SWT pasti datang.

Keempat, demokrasi kita sejatinya sudah rusak berat dengan politik uang. Politik uang di negeri kita justru paling marak pada zaman pascareformasi. Sampai ada sejumlah anak bangsa yang percaya pada keuangan yang mahadigdaya.

Mungkin juga ini gejala global. Di Amerika sendiri banyak kalangan yang menilai demokrasi di sana telah menjadi dolarokrasi. Dolar sudah jadi penentu segalanya. Pilpres 2012, misalnya, memerlukan dana kampanye sebesar 10 miliar dolar atau sekitar Rp 135 triliun. Kekuatan uang di Amerika juga telah menghasilkan Donald Trump yang kepreman-premanan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement