Jumat 07 Apr 2017 00:02 WIB

Pelantikan Pimpinan DPD dan Dilema Negara Kita

Red: Ilham
Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra.
Foto: Antara
Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Yusril Ihza Mahendra.

Kisruh dan kontroversi  sekitar pelantikan Ketua dan para Wakil Ketua DPD, Selasa 4 April 2017, hingga hari ini belum mereda. Pertanyaannya, bagaimana mungkin Oesman Sapta Odang (OSO), Nono Sampono bisa dilantik sebagai Ketua dan Wakil-Wakil Ketua DPD dan pengucapan sumpahnya dibimbing langsung oleh Wakil Ketua Mahkamah Agung (MA), sementara MA sendiri sudah membatalkan Peraturan DPD No 1 Tahun 2017 tentang Peraturan Tata Tertib yang menjadi dasar pemilihan dan pelantikan itu?

Sebagian tokoh, pengamat hukum, bahkan termasuk mantan Ketua MA Dr Harifin Tumpa mengatakan, Mahkamah Agung telah mempermain-mainkan hukum dalam kasus pelantikan Pimpinan DPD ini. Headline Koran Kompas (5 April 2014) menulis judul berita yang sama dan menuduh DPD melakukan tindakan memalukan karena terang-terangan telah mengabaikan Putusan MA yang membatalkan Peraturan Tata Tertib DPD sebagaimana tertuang dalam Peraturan DPD Nomor 1 Tahun 2017. Padahal sebagai lembaga negara, DPD harusnya memberi contoh menjalankan hukum dengan benar di negara ini.

Sebagian kalangan menuding OSO dan kawan-kawan sebagai tokoh yang mendalangi kisruh pergantian Pimpinan DPD setelah pimpinan yang ada menjalankan tugasnya selama 2,5 tahun sebagaimana diatur dalam Peraturan DPD Nomor 1 Tahun 2017. Sementara Gusti Kanjeng Ratu Hemas dan Prof Dr Farouk Muhammad menolak, dua Wakil Ketua DPD yang menurut Peraturan DPD Nomor 1 Tahun 2017 berakhir masa jabatan dua setengah tahunnya tanggal 1 April yang lalu, menentang pergantian pimpinan DPD itu.

Alasan GKR Hemas dan Prof Farouk menolak pergantian itu adalah karena Peraturan DPD Nomor 1 Tahun 2017 yang mengatur masa jabatan Pimpinan DPR selama 2,5 tahun telah dibatalkan MA. Dengan pembatalan itu, maka masa jabatan Pimpinan DPD adalah 5 tahun, sehingga tidak perlu ada pergantian pimpinan.

Upaya GKR  Hemas untuk membacakan Putusan MA itu dalam rapat paripurna mendapat tantangan yang besar. Alasannya, GKR Hemas dan Prof Farouk sudah tidak berhak lagi memimpin Rapat Paripurna karena jabatannya, menurut Peraturan DPD Nomor 1 Tahun 2017, sudah berakhir. Pimpinan DPD dianggap sudah vakum dan karena itu, sesuai undang-undang harus dipimpin sementara oleh anggota tertua dan termuda usianya. Namun anggapan bahwa masa jabatan Pimpinan DPD 2,5 tahun telah berakhir itu, menurut mereka yang menentang sudah tidak berlaku lagi karena peraturanya sudah dibatalkan MA.

Kekisruhan masalah Pimpinan DPD ini kalau dilihat dari sudut perundang-undangan sebenarnya disebabkah oleh mekanisme uji materil yang dilakukan oleh Mahkamah Agung. Menurut UUD 45, Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan menguji undang-undang. Sementara untuk menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang menjadi kewenangan Mahkamah Agung.

Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan kewenangannya menguji undang-undang terhadap UUD 45 bersikap tegas. Jika MK memutuskan norma undang-undang, sebagian atau seluruhnya, bertengan dengan UUD 45, maka putusan itu berlaku seketika, yakni ketika palu sudah diketok oleh Ketua MK dalam sidang yg terbuka untuk umum. Putusan MK itu final dan mengikat, tak seorangpun boleh membantahnya. 

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement