Rabu 29 Mar 2017 20:36 WIB

Penjelasan Kiai Masdar Soal Ciri Pemimpin Non-Muslim yang tak Boleh Dipilih

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Teguh Firmansyah
Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok (kedua kiri) berbincang dengan penasehat hukumnya saat menjalani sidang lanjutan kasus dugaan penistaan agama di PN Jakarta Utara, Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta, Rabu (29/3).
Foto: Antara/Hafidz Mubarak A.
Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok (kedua kiri) berbincang dengan penasehat hukumnya saat menjalani sidang lanjutan kasus dugaan penistaan agama di PN Jakarta Utara, Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta, Rabu (29/3).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rais Syuriah PBNU, KH Masdar Farid Mas'udi dihadirkan oleh tim penasihat hukum terdakwa kasus dugaan penodaan agama, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai saksi ahli agama meringankan dalam sidang lanjutan ke-16 yang digelar di Auditorium Kementrian Pertanian, Jalan Harsono, Ragunan, Jakarta Selatan pada Rabu (29/3) malam.

Kepada Majelis Hakim, Kiai Masdar mengatakan  dalam menafsirkan Surat Al-Maidah Ayat 51 tidak bisa dipisahkan dengan surat Al-Mumtahanah ayat 8. Karena, surat Al-Mumtahanah ayat 8 memperjelas surat Al-Maidah ayat 51 terkait kriteria pemimpin non-Muslim yang tidak boleh dipilih. Sehingga dua ayat itu harus dilihat secara holistik.

"Dalam surat Al-Mumtahanah ayat  dijelaskan bahwa yang tak boleh dipilih sebagai aulia (pemimpin) adalah orang non-Muslim yang memerangi kamu dan mengusir kamu dari negeri kamu. Kalau sekadar beda agama tidak masalah," jelas Kiai Masdar.

Sehingga, seseorang non-Muslim bisa menjadi pemimpin di suatu negara. Lantaran, Indonesia sudah menerapkan konsep rahmatan lil'alamin dengan konsep negara berbangsa bukan negara Islam. Jadi, setiap orang Indonesia berhak mendapatkan keadilan dan kesetaraan tanpa membeda-bedakan etnis, termasuk menjadi seorang pemimpin selama bisa bersikap adil.

"Jadi kalau beda agama tidak masalah karena dalam Negara ini konsep rahmatan lil 'alamin  tidak masalah. Kita tidak boleh mendiskirminasi bangsa berdasarkan sara," ujar Kiai Masdar.

Dalam hukum Fiqih, sambung dia, kemaslahatan politik memperlakukan secara sama semua manusia apapun keyakinan yang dianutnya.

Baca juga,  MUI Sayangkan Persidangan Malah Sudutkan Saksi Seperti Terdakwa.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement