REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ahli psikologi sosial, Risa Permana, menjadi saksi ahli yang dihadirkan oleh tim penasihat hukum terdakwa kasus dugaan penodaan agama, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok dalam sidang ke-16 yang digelar di Auditorium Kementrian Pertanian, Jalan Harsono, Ragunan, Jakarta Selatan, Rabu (29/3). Dalam keterangannya, Risa mengkritik proses hukum kasus penodaan agama yang dituduhkan kepada Ahok.
Menurut Risa, polisi melakukan tindakan yang gegabah. "Saya pikir, polisi terlalu gegabah menjadikan transkrip sebagai alat bukti," kata Risa.
Menurut Risa, sangat kurang tepat bila kesalahan terdakwa hanya berdasarkan transkrip. Karena, transkrip tidak bisa mendeskripsikan kejadian secara langsung. "Kalau mau dijadikan alat bukti, harusnya transkrip disertakan dengan reaksi masyarakat dan kondisi sekitar," kata dia.
Ia juga menyayangkan kasus yang menjerat Ahok itu hanya dilihat dari sudut pandang sebagian kecil saja. Warga maupun penegak hukum harusnya bisa menilai kasus ini dari sekup yang lebih luas. "Makanya saya bisa katakan tuduhan ini tidak valid. Kalimat yang diambil hanya sedikit saja. Makanya saya bilang kasus ini terlalu sumir," katanya.
Risa mengatakan, jika ingin mendalami kasus penodaan agama lebih dalam, maka penegak hukum hendaknya menggali dari awal kenapa Ahok bisa mengucapkan surah al-Maidah. "Anda harus melihat kenapa ia merujuk surah tersebut. Siapa yang pernah mengucapkan 'jangan pilih saudara Basuki Tjahaja Purnama karena agama'?" ujar Risa.