REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua DPR Setya Novanto mengaku belum mendengarkan secara langsung terkait usulan digulirkannya hak angket dugaan korupsi proyek KTP elektronik (KTP-el) sehingga belum bisa menentukan sikap.
"Saya belum mendengarkan penjelasan langsung dan belum lihat urgensi," kata Novanto di Gedung Nusantara III, Jakarta, Kamis (16/3).
Dia menilai pimpinan DPR akan mendengarkan dahulu secara jernih penjelasan pengusul seperti Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah. Hal itu, menurut dia, agar proses hukum yang telah berjalan tetap dalam koridor dan supremasi hukum yang berlaku.
"Kami mendukung penuh dalam upaya supremasi hukum penuntasan kasus KTP-el itu dan terkait usulan hak angket harus bertanya lebih jelas," ujarnya.
Wakil Ketua DPR Fadli Zon menilai hak angket KTP-el baru sebatas wacana belum tahap implementasi dan apabila ada yang berpandangan sama maka dirinya mempersilahkan menggalang dukungan.
Sebelumnya, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menjelaskan alasan mengusulkan penggunaan angket kasus KTP-el yang menyeret sejumlah pejabat negara, petinggi partai politik dan anggota-anggota dewan.
Fahri mengungkapkan hak angket dibutuhkan untuk menggali keterangan soal kronologis masuknya nama-nama tokoh politik dalam berkas dakwaan dua mantan pejabat Kemendagri. Menurut dia, perlu ada klarifikasi terbuka, yaitu tentang bagaimana caranya nama-nama itu masuk dalam list dan apa yang sebetulnya terjadi di masa lalu, kata Fahri.
Fahri melihat kasus KTP-el tergolong unik dan tidak yakin korupsi sebesar Rp 2,3 triliun itu merupakan hasil kongkalikong antara anggota-anggota DPR dan pemerintah. Dia menilai munculnya korupsi penambahan anggaran proyek KTP-el terjadi saat anggota DPR dan Menteri Dalam Negeri periode lalu Gawaman Fauzi sama-sama baru dilantik.
"Karena yang unik di kasus ini kan kasusnya terjadi persis setelah anggota DPR periode lalu dilantik. APBN-P sebetulnya. Mulainya November 2009, artinya anggota DPR periode lalu persis pada awal dilantik dan bisa dibilang Pak Gamawan juga baru dilantik," katanya.
Dia mengaku heran bagaimana Gamawan dan anggota-anggota DPR bisa membuat kesepakatan bersama untuk melakukan korupsi dengan mengatur penambahan anggaran KTP-el menjadi Rp 5,9 triliun.