REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi I DPR RI mendesak PT Dirgantara Indonesia (DI) lebih produktif dalam menciptakan alutsista pertahanan dan keamanan (alpahankam). Sebab, kebutuhan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam menjaga pertahanan negara masih jauh tidak memadai.
Hal itu diketahui pasca lembaga legislatif yang membidangi pertahanan dan keamanan ini berkunjung ke Mabes TNI 2016 silam. "Jadi berangkat dari situ, apa yang dipresentasikan TNI AU enggak mengada-ada terkait tugasnya. Yaitu ada lima, yang terpenting itu adalah tugas menjaga wilayah udara. Nah, untuk mendukung itu tentu harus dipikirkan juga bagaimana memenuhi kebutuhan itu. Ternyata PT DI tak mampu memenuhinya," ucap Anggota Komisi I DPR Andreas Hugo Parareira, dalam siaran persnya, Rabu (15/3).
Menurut politisi PDIP itu, bila negara mau kuat, Indonesia tidak perlu diskusi lagi dalam mengembangkan industri strategis. Apalagi, Indonesia negara besar sehingga harus mempunyai Alutsista yang memadai. Artinya, revisi APBN untuk Kemhan sekitar Rp 30 triliun sampai berakhir 2004-2009, diharapkan bisa sampai Rp 40 triliun.
Dalam kunjungan ke Mabes TNI AU, lanjut Andreas, pihaknya menemukan beberapa jenis Alpahamkan yang pencapainnya tidak sesuai target dari perencanaan awal. Indonesia punya rencana sekian banyak helikopter dan sederetan pesawat untuk memenuhi kebutuhan TNI AU. Namun, kenyataannya yang ditemukan tidak sesuai.
Misalnya, kata dia, jenis pesawat tempur F16, targetnya 24 tetapi yang dipunyai baru 9. Kemudian jet 130, targetnya 9 dan baru mempunyai 4, B737 pesawat angkut, target 3 unit tapi namun terealisasi dua unit.
"//Nah, sekian banyak Alpahankam yang ingin kita miliki, pada level aspek TNI AU jenis pesawat kebutuhan untuk menyerang kita juga belum punya. Kita baru tahap pesawat dukungan pertahanan udara jenis angkutan helikopter. Tapi pesawat menyerang kita belum punya. Kemudian pesawat yang dibutuhkan TNI AU, dari sekian pesawat tempur baru 30 persen dengan teknologi low," jelasnya.
Andreas juga membeberkan, pada 2017 ini TNI AU mencanangkan pemenuhan minimum air force tahap dua. Dengan berbagai pesawat tempur dan angkut, VVIP, pesawat latih, angkut tanpa awak, di mana dari 72 pesawat tersebut hanya 10 yang diproduksi di dalam negeri dengan pendanaan dalam negeri.
"Kita ini negara besar, kita mau menjaga diri kita sendiri. Untuk pemenuhan diri sendiri ini membutuhkan political will dan tentu saja upaya untuk menjadikan industri pertahanan ini memiliki nilai ekonomis bagi negara dari memproduksi dan menjual. Itu tugas PT DI harus lebih produktif," ujarnya.