Jumat 10 Mar 2017 10:42 WIB

Kurangnya Perhatian Pemda Jadi Sebab Maraknya Demo Angkutan

Rep: Bowo Pribadi/ Red: Indira Rezkisari
Ribuan sopir angkutan kota (angkot) dan taksi Kota Bandung melakukan aksi unjuk rasa dan mogok massal di depan Gedung Sate, Jalan Diponegoro, Kota Bandung, Kamis (9/3).
Foto: Mahmud Muhyidin
Ribuan sopir angkutan kota (angkot) dan taksi Kota Bandung melakukan aksi unjuk rasa dan mogok massal di depan Gedung Sate, Jalan Diponegoro, Kota Bandung, Kamis (9/3).

REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Aksi demo awak angkutan umum yang kian merebak di sejumlah daerah dipandang merupakan implikasi dari kurangnya perhatian pemerintah terhadap penyelenggaraan sektor transportasi. Kondisi ini, dikhawatirkan akan terus memicu aksi-aksi serupa, karena persoalan yang dihadapi angkutan umum saat ini sudah semakin kompleks.

Pakar Transportasi Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Djoko Setijowarno mengatakan, aksi demo angkutan umum ini tampaknya tidak akan berhenti. Dimulai dari aksi awak angkutan umum di Yogyakarta, kemudian Medan, Malang, Kota Semarang, Tangerang dan sekarang juga terus berlangsung di Bandung.

"Jika selama ini hanya melibatkan awak angkutan umum, bisa jadi akan diikuti pengusaha dan sopir di daerah lain," katanya, Jumat (10/3).

Menurut Djoko, sejak era reformasi perhatian pemerintah terhadap transportasi umum kian menurun. UU Nomor 22/ Tahun 2009 tentang LLAJ mengatur kewajiban pemerintah termasuk pemerintah daerah untuk menyelenggarakan transportasi umum (pasal 138, 139, 158).

"Pun demikian kewajiban memberi subsidi operasional angkutan umum yang diatur dalam pasal 185 UU yang sama," jelasnya.

Di Jawa Tengah, lanjut Djoko, angkutan pedesaan yang beroperasi tinggal 20 persen. Sehingga beberapa trayek transportasi pedesaan sudah hilang.

Bus AKDP yang beroperasi saat ini juga sudah semakin berkurang dan jumlahnya di bawah 40 persen dengan load factor kurang dari 40 persrn. Idealnya, load factor bus AKDP ini minimal 79 persen agar usaha angkutan ini bisa bertahan.

Di perkotaan juga tidak jauh berbeda. Rata-rata yang beroperasi kurang dari 30 persen dengan tingkat isian yang kurang dari 40 persen.

Tahun 2004, masih kata Djoko, pemerintah melalui Kementerian Perhubungan (Kemenhub) mulai menggagas bus sistem transit (BST) degan konsep membeli pelayanan (buy the service).

Namun dalam perkembangannya, tidak banyak kota yang serius menyelenggarakan BST. Setifaknya baru sekitar 20 kota yang telah mengaplikadikan model transportasi massal perkotaan ini.

Selain kendala anggaran juga kemampuan SDM di daerah. Bahkan yang lebih ironis, program BST jad iladang korupsi dan kolusi kepala daerah hingga bawahannya.

Penyelenggaraan BST (bus rapid transit) di Jakarta sekarang sudah bisa dijadikan percontohan bagi daerah. Karena prngelolaannya yang telah berjalan dengan baik.

"Di Jakarta bus antri di halte menunggu penumpang naik. Sementara di daerah kebalikannya, penumpang antri menunggu bus kapan akan hadir di halte," tandasnya.

Faktor lainnya, manajemen layanan transportasi umum tidak banyak berubah. Sistem setoran dan ngetem membuat kurang diminati penumpang. "Sehingga angkutan umum kian ditinggalkan," tandasnya.

Agar demo transportasi umum tidak semakin merebak di sejumlah daerah nantinya, pemerintah diimbau segera menyikapi persoalan angkutan umum. Pemda juga harus melakukan pembinaan terhadap perusahaan angkutan umum sewa yang sudah ada dan harus dilakukan serius. Sehingga dapat memberikan pelayanan prima bagi warga.

Peran kepala daerah untuk menata transportasi umum sangatlah besar, janganlan hanya ingat ketika akan mencalonkan diri ketika saat pilkada dengan menempel foto dan programnya. "Namun setelah menang pilkada, keberadaan angkutan umum dilupakan dan dibiarkan mati," tandas Djoko.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement