Ahad 05 Mar 2017 19:03 WIB

KPK akan Pelajari Kajian ICW Soal Rendahnya Vonis Koruptor

Rep: Mabruroh/ Red: Bilal Ramadhan
Boneka Narapidana Koruptor (ilustrasi).
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Boneka Narapidana Koruptor (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai vonis hakim yang dijatuhkan kepada para aktir korupsi terbilang lemah dan rendah. Hal ini jika dibiarkan justru tidak akan membuat efek jera kepada calon-calon pelaku korupsi lainnya.

ICW bahkan menilai bahwa rendahnya vonis hakim ini dikarenakan salah satunya rendahnya tuntutan hukuman yang ditetapkan oleh jaksa penuntut umum (JPU). Menanggapi hal tersebut, Komisi Pemberantasan Korupsi mengaku akan mempelajari hasil temuan ICW itu.

"KPK akan pelajari kajian ICW tersebut," kata Juru bicara KPK Febri Diansyah melalui pesan singkat pada Republika.co.id di Jakarta, Ahad (5/3).

Dalam kajian ICW tersebut menurut Febri bukan hanya tren vonis ringan majelis hakim tindak pidana korupsi (Tipikor) saja, namun juga membahas perihal aspek berat ringannya sebuah tuntutan. Termasuk sambungnya perihal pencabutan hak politik yang juga sempat di singgung ICW.

Oleh karena itu pihaknya juga setuju jika terdakwa kasus korupsi harus dituntut dengan dakwaan yang maksimal. Dengan begitu dapat memberikan efek jera para pelaku korupsi juga para calon-calon lainnya.

"Untuk memaksimalkan efek jera terhadap pelaku korupsi memang sebaiknya terdakwa dituntut maksimal dan divonis sangat berat, baik hukuman penjara, denda, uang pengganti dan hukuman tambahan lain. Kecuali jika pelaku adalah Justice collaborator (JC) atau pembantu penyidik," ungkapnya.

KPK lanjut Febri, selama ini telah berupaya semaksimal mungkin untuk memberikan tuntutan betah khususnya soal pencabutan hak poltik. Karena dalam penilaiannya di pandang sebagai suatu langkah pengkhianatan aktor politik kepada masyarakat yang memilihnya.

"Di KPK, kami berupaya secara maksimal menuntut berat khususnya pencabutan hak politik jika pelaku adalah aktor politik yang dipandang telah mengkhianati kepercayaan masyarakat yang memilihnya," sambung dia.

Ke depan tambah Febri, harapannya keputusan terhapa para pelaku korupsi ini tidak lagi dikenakan pada individu. Namun bila memang sebuah korporasi ikut ambil bagian maka pihaknya tidak akan segan-segan juga menjerat perusahaan yang dimaksudkan.

"Semoga corak putusan kasus korupsi tidak lagi hanya terhadap orang per-orangan tapi juga korporasi," lanjutnya.

Sedikit dia berbicara mengenai jenis hukuman berat ringannya sebuah  tuntutan kepada pelaku. Menurutnya perlu dicarikan metode baru untuk membedakan perhitungan tersebut. "Terkait dg jenis korupsi dan berat ringan putusan, untuk pelaku pemberi suap perlu dicarikan metode untuk membedakan perhitungannya,"  kata dia.

Misalnya ancaman pidana terhadap pemberi suap masih rendah, yaitu maksimal 3 tahun Pasal 13 UU Tipikor atau maksimal 5 tahun Pasal 5 ayat (1) UU Tipikor. Sementara penerima suap ancamannya bisa sampai seumur hidup atau maksimal 20 tahun.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement