Ahad 05 Mar 2017 11:04 WIB

Poros Maritim, Banjir Jakarta, dan Durhaka Tembok Sungai

Pelabuhan Sunda Kalapa
Foto: IST
Pelabuhan Sunda Kalapa

Oleh: Indra J Piliang

Selasa, 22 Juli 2014, Joko Widodo yang didampingi Jusuf Kalla menyampaikan pidato di atas kapal phinisi Hati Buana Setia. Pidato itu bakal dikenang sebagai dokumen paling ringkas, namun penuh gelora dan itikad rekonsiliasi dalam siklus politik Indonesia moderen.

“Nelayan kembali melaut / Anak kembali ke sekolah / Pedagang kembali ke pasar / Buruh kembali ke pabrik / Karyawan kembali bekerja di kantor / Lupakanlah nomor 1 dan lupakanlah nomor 2, marilah kembali ke Indonesia Raya / Kita kuat karena bersatu, kita bersatu karena kuat! / Salam 3 Jari, Persatuan Indonesia!” Begitu penggalannya.

Saya mendengarkan pidato itu di atas kapal yang sama. Aroma Pelabuhan Sunda Kelapa ikut membahanakan setiap ucapan Jokowi. Beberapa menit sebelum Jokowi berada di belakang mikrophone, saya terlebih dahulu memegangnya. Saya bersikap seolah “protokol keamanan” berkepala plontos Raja Salman. Malam itu, saya juga ikut naik motor boat yang membawa Pak JK ke Pantai Marina, Ancol.

Poros Maritim sudah dicanangkan oleh Jokowi sejak debat pemilihan presiden dan wakil presiden. Debat yang diingat publik dalam kaitannya dengan kasus Laut China Selatan dengan Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa. Poros Maritim adalah terma yang diterima sebagai pengganti ketergantungan Indonesia kepada Poros Agraria yang bersandar kepada “kekayaan alam”. Tanpa sadar, kekayaan itu berkurang dengan cepat, diekspor dalam bentuk bahan baku yang minim nilai tambah, meninggalkan lubang kemiskinan di area-area pertambangan dan hutan yang terkelupas.

Poros Maritim jika dicerna sebagai pohon kata-kata, berarti menghasilkan deretan kata tunggal seperti: air, sungai, laut, rakit, pantai, pulau, bendungan, kapal, nelayan, mutiara dan sebagainya. Di sinilah masalahnya, kala data-data statistik yang terkait Poros Maritim ini diurai. Kata-kata yang berhubungan dengan Poros Maritim itu senyap tanpa syair yang syahdu. Kalaupun ada remah-remahnya, dipastikan tak lagi tunggal: penenggelaman kapal, reklamasi pantai, pulau buatan, genangan air, banjir kanal, hingga tembok sungai.  Kata tunggal digantikan kata jamak.

Keadaan itupun berlangsung di Jakarta. Ahad lalu saya mendatangi lagi Pelabuhan Sunda Kelapa, mencari lokasi kapal-kapal phinisi bersandar. Lebih banyak kapal yang saya lihat dengan ukuran lebih besar. Tapi saya tidak tahu, apakah jejeran yang banyak itu benar-benar menunjukkan jumlah pertumbuhan kapal-kapal phinisi yang melayari Lautan Indonesia? Saya juga belum bertanya kepada pihak terkait di Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia.  Secara kasat mata, kapal-kapal itu dibuat dalam kondisi kasar, rapuh, dan jauh dari kesan kapal yang berestetika dan penuh wibawa bangsa bahari.

Padahal, dalam bayangan masa kecil saya, seorang Malin Kundang yang berasal dari Pesisir Pariaman menaiki kapal phinisi yang bertiang indah, megah dan menantang badai. Kapal yang tak hanya diukir berdasarkan citarasa seni tinggi, tetapi juga membawa serta manusia dan kebudayaan bumi Nusantara menyinggahi pelabuhan demi pelabuhan.

Akal sehat saya sangat tak menerima, jika bayangan kapal yang gemerlap itu ditenggelamkan hempasan gelombang tsunami akibat kutukan seorang ibu.

Tak ada satupun kitab suci di muka bumi yang mengisahkan ada manusia beserta kapal-kapalnya yang berubah menjadi batu. Tatkala kisah Malin Kundang yang dipelintir oleh kalangan antropolog kolonial itu muncul dalam naskah ujian anak-anak sekolah, sebetulnya dunia maritim sudah ikut menjadi batu.

Malin Kundang yang sebetulnya sangat tangguh dan mampu memenangkan persaingan dagang dengan saudagar-saudagar bangsa-bangsa Eropa itu bahkan tak pernah dipulihkan namanya. Tak ada Panitia Rehabilitasi, apalagi Panitia Khusus Reinkarnasi. Padahal, jika ia dijadikan sebagai epos yang hidup, jantan dan positif, lalu “berhala buatan” di Pantai Bungus itu dihancurkan jadi butiran pasir dan dihumbalangkan ke tengah laut, masih ada harapan bagi kebangkitan kejayaan di laut.

Sebab, Poros Maritim tanpa Tokoh Maritim (Imajiner ataupun Mitologis), sama saja dengan kesebelasan tanpa pemain dan lapangan.

Kemampuan menembok sungai di Jakarta juga luar biasa, dengan alasan pembersihan sampah, pengendalian banjir hingga penataan tataruang. Padahal, saat saya turun di Kota Guangzhou, China, tampak sekali sungai-sungai dipertahankan keasriannya. Daerah-daerah hunianlah yang mengikuti alur sungai. Sebab sungai bukanlah benda mati. Air bukanlah tuba yang bisa membunuh atau membuat pening biota di dalamnya. Air selalu saja dikaitkan dengan kehidupan, bukan kematian. Sungai adalah nafas air. Ia membawa serta kehidupan.

Saya yang tinggal di tepi sungai dan tiap hari menyeberanginya hingga kaki membusuk waktu SD dan SMP, lebih merasakan sungai-sungai yang “mengamuk” sebagai energi yang baru. Sungai yang ditembok adalah kain kafan pada mayat alam.

Poros Maritim tak usah dulu dibayangkan sebagai perubahan posisi Indonesia dalam skema armada perang yang dipimpin oleh kapal induk. Atau bukanlah Legiun Pamalayu kiriman Raja Kartanegara ke Sumatera. Poros Maritim sama sekali tak ada asosiasinya dengan ditebangnya pohon-pohon tua dan tinggi di Tanah Jawa, lalu dibuat menjadi kapal-kapal besar, sedang dan kecil mengiringi Ekspedisi Sumpah Palapa yang dipimpin Mahapatih Gajah Mada.

Semula, armada itu menghadap ke Utara guna menghadapi apa yang disebut sebagai  Masyarakat Ekonomi ASEAN. Kini ada yang memanggil di arah Timur, yakni kesejawatan alur Pasific atau dikenal sebagai Trans Pacific Parthnership.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement