Ahad 05 Mar 2017 11:04 WIB

Poros Maritim, Banjir Jakarta, dan Durhaka Tembok Sungai

Pelabuhan Sunda Kalapa
Foto:
Perahu Phinisi (Ilustrasi)

Masyarakat Ekonomi ASEAN jadinya adalah bagian kiri dari lambung kapal. Sementara bagian kanannya adalah kawasan pantai Selatan yang masih luas.

Pun, Poros Maritim bukan gagasan baru. Tanggal 1 Juni 2017 nanti, satu naskah yang hebat pernah lahir di Indonesia menapak usia ke 80 tahun.

Naskah itu berjudul “Indonesie in Pacific” karya GSSJ Ratulangie. Ya, dari Sukabumi, Ratulangie menulis karya yang pernah berbulan-bulan mengisi rak buku saya di masa kuliah. 

Saya tidak tahu, apakah Presiden Joko Widodo pernah membaca atau menyentuh buku itu.

Tentu, ada beberapa naskah yang lain, baik yang lahir di era kolonial ataupun di era kemerdekaan. Naskah-naskah itulah yang hendaknya menjadi mata-air bagi penyusunan konsep Poros Maritim yang lebih beradab, berkeadaban dan berperadaban.

Poros Maritim adalah peradaban, bukan semata-mata konsepsi yang muncul dari upaya membuhul pulau demi pulau Indonesia dengan tol laut atau infrastruktur maritim. Peradaban dibentuk dari manusia-manusia yang berpikir tentang tentang laut, lalu mengejawantahkan pikiran itu lewat kerja-kerja harian yang sederhana.

Contoh soal, apabila murid-murid Taman Kanak-Kanak di Jakarta mampu menghafal nama 13 sungai yang mengaliri tubuh Jakarta, apalagi anak-anak mampu menggambarkan posisinya di kertas kosong, atau bahkan anak-anak sudah “berekreasi” di bantaran sungai-sungai itu: satu langkah memulai peradaban maritim sudah dimulai.

Pun jika sungai-sungai itu sudah dimanfaatkan sebagai area rekreasi, tanpa orang perlu berpikir tentang Venesia di Italia, sudah merupakan kebahagiaan lebih apabila nona-nona dan pemuda-pemuda Jakarta pernah naik perahu yang berlayar di sungai-sungai Jakarta itu.

Ya, tak perlu sampai berperilaku seperti saya di masa remaja dulu: setiap kali saya berhasil menulis sepucuk surat atau puisi kepada gadis pujaan, setiap saat juga surat atau puisi itu saya hanyutkan di sungai menuju laut atas nama rendah-diri. Kisah-kisah yang berbuah dari keberadaan sungai bakal menjadi “genangan” ide yang tak pernah kering dalam pikiran pekerja-pekerja film, sinetron ataupun pembawa acara televisi.

Dan sungguh, sampai kini rakyat Jakarta – pun pemimpinnya – sudah durhaka kepada sungai, air dan alirannya. Ada nada saling menyalahkan, kala banjir melanda. Banjir seakan wabah sampar di Eropa yang menjadi bahan tulisan Albert Camus. Padahal banjir, dalam terminologi ekologi, atau bahkan pikiran awam tentang siklus lingkungan adalah cara alam memperbaiki dirinya.

Banjir tak layak ditempatkan dalam kosa kata yang hina, apalagi dihindari atau ditutupi bak penyakit menular.

Dan tiba-tiba saja, saya merasa adalah bagian dari Malin Kundang – Malin Kundang yang durhaka terhadap alam, kala menempatkan banjir dan segala problemanya sebagai bukan bagian dari “kehidupan” alam raya

Jakarta, 05 Maret 2017

 

*Indra J Piliang, Pengamat Politik          

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement