Selasa 14 Feb 2017 12:15 WIB

Pengamat: Pengaktifan Kembali Ahok Melanggar Hukum

Terdakwa kasus penistaan agama Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok menjalani sidang ke-10 di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta, Senin (13/2).
Foto: Republika/Pool/Ramdani
Terdakwa kasus penistaan agama Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok menjalani sidang ke-10 di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta, Senin (13/2).

REPUBLIKA.CO.ID, PADANG -- Pengamat hukum dari Universitas Bung Hatta (UBH) Padang, Miko Kamal Phd menilai pengaktifan kembali Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta melanggar hukum karena bertentangan dengan sejumlah aturan yang mengarah pada pelanggaran konstitusi.

"Menurut Pasal 83 ayat 1 UU No 23/2017, kepala daerah dan atau wakil kepala daerah yang sedang menjadi terdakwa pidana kejahatan yang diancam hukuman paling singkat lima tahun harus diberhentikan sementara dari jabatannya," kata dia di Padang, Selasa (14/2).

Ia menjelaskan frasa paling sedikit 5 tahun dan paling lama 5 tahun tidak layak dijadikan perdebatan hukum karena sesungguhnya substansinya ada pada frasa tindak pidana kejahatan yang termuat di dalam Pasal 83 ayat 1 UU No 23/2014.

Artinya, pembuat UU mengamanatkan kepada pemerintah bahwa setiap kepala daerah dan atau wakil kepala daerah yang didakwa sebagai pelaku tindak pidana kejahatan harus diberhentikan sementara dari jabatannya, kata dia.

Kemudian, ia menilai frasa paling singkat 5 tahun yang tertera di dalam Pasal 83 ayat 1 UU No 23/2014 bukan halangan hukum untuk memberhentikan sementara Basuki Tjahaja Purnama dari jabatannya.

Apalagi menggunakan dalih yang dibuat-buat oleh pihak-pihak tertentu bahwa seolah-olah dakwaan kejahatan yang dilakukan merupakan kejahatan ringan ataupun sedang, karena terdapat frasa selama-lamanya atau paling lama 5 tahun dalam rumusan Pasal 156a KUHP, katanya.

Ia menerangkan terminologi kejahatan ringan, sedang dan berat tidak dikenal di dalam hukum pidana, KUHP hanya membagi delik dalam dua tandan besar, yaitu kejahatan dan pelanggaran.

Kejahatan dikenal sebagai delik berat, sedangkan pelanggaran sebagai delik ringan yang keduanya terlihat dari kuantitas hukuman yang dapat dijatuhkan kepada pelakunya, ujarnya.

Ia menyampaikan frasa paling singkat 5 tahun dan frasa selama-lamanya atau paling lama 5 tahun hanya batas teknis ancaman hukuman yang keduanya sama-sama diakui keberadaannya dalam sistem hukum Indonesia.

Keberadaan kedua frasa itu tetap memungkinkan majelis hakim menjatuhkan pelaku tindak pidana kejahatan selama 5 tahun, dan kedua-duanya juga ancaman hukuman yang normal bagi pelaku kejahatan dalam lingkup hukum pidana kita, ujarnya.

Oleh sebab itu dengan alasan-alasan hukum di atas, menurutnya Mendagri jelas-jelas telah melakukan pelanggaran hukum serius dan mengarah kepada pelanggaran konstitusi negara yang seharusnya dijunjung tinggi, kata dia.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement