REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Usai persidangan pembacaan pledoi, tim penasihat hukum Irman Gusman menyebut tidak ada fakta penyalahgunaan jabatan yang dilakukan kliennya terkait pengadaan gula 1.000 ton di Sumatra Barat, seperti tuntutan jaksa KPK dalam pasal 12 huruf B Undang-undang KKN. Namun terdakwa terbukti tidak mengetahui uang yang diterima dan hanya dapat dikenakan pasal 11 Undang-undang Tipikor.
"Fakta menunjukkan bahwa tidak ada penyalahgunaan jabatan yang dilakukan oleh pak Irman berkenaan dengan pengadaan gula 1.000 ton itu. Sehingga dengan tidak adanya penyalahgunaan jabatan ini maka beliau tidak bisa dihukum dengan ketentuan pasal 12 huruf B, satu-satunya yang bisa dibuktikan adalah memang betul kepada beliau diberi uang 100 juta rupiah tanpa beliau ketahui, ini terbukti. Oleh karena hal ini terbukti, maka yang terbukti itu adalah ketentuan pasal 11 UU Tipikor," kata Maqdir Ismail dalam keterangannya, Rabu (8/2).
Maqdir Ismail menjelaskan jaksa KPK tak bisa menggunakan dua undang-undang yang memiliki ancaman hukuman tersendiri untuk menuntut terdakwa. "Itu terkait UU KKN, karena UU KKN punya ancaman hukumannya sendiri, akan tetapi mereka juga gunakan UU Tipikor. Mestinya mereka gunakan satu, kalau ini berkenaan dengan UU KKN, maka tuntutlah terdakwa berdasarkan UU KKN bukan seperti yang terjadi sekarang. Dari dua uu tapi hanya dituntut 1 uu dari 1 perbuatan, bukan 2 perbuatan," ucap dia.
Di dalam pledoi yang dibacakan tim penasehat hukum Irman menyebutkan pemeriksaan terdakwa saat ditetapkan menjadi tersangka di KPK terlihat tidak wajar dan melanggar undang-undang. "Pemeriksaan terhadap tersangka pada 17 september 2016 tidak sesuai dengan ketentuan pasal 114 KUHAP dimana terdakwa saat diperiksa menjadi tersangka tidak didampingi penasehat hukum dan pemeriksaan lanjutan pada 11 oktober 2016 kepergian terdakwa ke KPK bukan untuk menjalani pemeriksaan dari penyidik melainkan untuk pemeriksaan dokter, karena ia mengalami gangguan kesehatan," ujar tim penasihat hukum saat membacakan pledoi.
Tim penasihat hukum Irman juga menyinggung tentang jaksa yang tidak berperan dalam mengoreksi berkas perkara dari penyidik. "Satu hal yang harus diperhatikan pada ketentuan pasal 138-139 KUHAP, yang memberikan kewenangan pada jaksa penuntut umum untuk melakukan koreksi terhadap hasil pemeriksaan pemyidik, artinya penuntut umumlah yang menentukan lengkap atau tidaknya suatu berkas perkara dibawa ke pengadilan", kata tim penasihat hukum.
Tak hanya itu tim penasehat hukum juga menyinggung terkait digugurkannya permohonan praperadilan Irman Gusman sebagai upaya penyempurnaan pelanggaran hukum oleh penyidik. "Bagi kami digugurkannya permohonan praperadilan terdakwa merupakan upaya untuk menyempurnakan pelanggaran hukum oleh pemyidik dalam perkara. Hal ini terlihat dari diabaikannya proses pencegahan dan penyelidik sudah mengetahui bahwa terdakwa tidak pernah membuat kesepakatan dengan saksi Memi dan Xaveriandy Sutanto mengenai uang Rp 100 juta," ujar tim penasihat hukum.
Di pengujung pledoinya, tim penasehat memohon kepada majelis hakim untuk dapat mempertimbangkan hukuman yang seringan-ringanya untuk terdakwa selaku orang yang pernah berjasa bagi negara dengan mendapat penghargaan tinggi dari negara.
"Sebagai warga negara yang selama ini telah mengabdi dan mendapatkan penghargaan tertinggi dari negara berupa Bintang Maha Putra Adi Pradana, kami mohon agar Yang Mulia Majelis Hakim dapat mempertimbangkan jasa beliau dengan hukuman yang seringan-ringannya," kata tim penasehat hukum. Tim penasehat hukum juga menolak tuntutan jaksa yang mencabut hak terdakwa untuk dipilih jabatan publik selama tiga tahun.
Sebelumnya, mantan ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Irman Gusman mengaku tidak hati-hati saat menerima bungkusan berisi uang dari rekannya, pemilik CV Semesta Berjaya sehingga ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh KPK.
"Seharusnya saya menanyakan atau memeriksa isi dari bungkusan tersebut, sehingga kalau saya mengetahui bahwa isinya adalah uang, tentu akan saya tolak dan mengembalikannya kepada yang bersangkutan. Tapi di situlah ketidakhati-hatian atau kekhilafan saya," kata Irman saat membacakan nota pembelaan (pledoi) di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu (8/2).
Dalam perkara ini dituntut tujuh tahun penjara ditambah denda Rp 200 juta subsider lima bulan kurungan ditambah pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama tiga tahun, setelah menjalani pidana pokok karena dinilai terbukti menerima Rp100 juta dari pemilik CV Semesta Berjaya, Xaveriandy dan Memi, sehingga mendapat alokasi pembelian gula di Sumatra Barat. "Kondisi kelelahan fisik dan psikis yang menyebabkan ketidakhati-hatian itu. Belakangan saya sadari, juga disebabkan oleh situasi dan tekanan yang harus saya hadapi secara terus-menerus sejak lebih dari enam bulan sebelumnya, sehubungan dengan terjadinya 'kekisruhan internal' dalam lembaga DPD," ujarnya.