Senin 06 Feb 2017 04:18 WIB

Pengamat: Demam LRT Menjangkiti Beberapa Kepala Daerah

Rep: Kabul Astuti/ Red: Bayu Hermawan
Pembangunan infrastruktur Light Rail Transit (LRT) atau kereta ringan di Palembang, Sumatra Selatan, Jumat (25/11).
Foto: Antara/Nova Wahyudi
Pembangunan infrastruktur Light Rail Transit (LRT) atau kereta ringan di Palembang, Sumatra Selatan, Jumat (25/11).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Demam Light Rail Transit (LRT) menjangkiti beberapa kepala daerah. Setelah melihat perkembangan pembangunan LRT Sumatera Selatan, beberapa daerah mulai lakukan studi kelayakan kereta ringan padahal tata transportasinya belum mendukung.

Pengamat transportasi dari Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Djoko Setijowarno, mengungkapkan  banyak pemerintah daerah yang kondisi transportasi umum berbasis jalan raya masih kepayahan, tapi mau langsung lompat mengelola kereta ringan.

"Investasi untuk membangun kereta ringan tidak murah. Belum lagi investasi sarananya, serta nanti setelah beroperasi harus memberikan subsidi. Padahal, jelas Pemda banyak yang tidak sanggup beri subsidi, karena keterbatasan anggaran," kata Djoko Setijowarno kepada Republika, Ahad (5/2).

Selain APBD Kota Jakarta yang berkisar Rp 70an triliun, ucap Djoko, paling tinggi APBD di daerah tidak sampai Rp 8 triliun. Ia memerinci, investasi pembangunan prasarana (13 stasiun dan 1 depo) untuk LRT Sumsel Rp 12 triliun, sekitar Rp 500 miliar per km. Investasi sarana bisa mencapai Rp 710 miliar untuk pembelian sarana dan fasilitas pendukung.

Djoko menilai, Kota Palembang termasuk sukses mengelola BRT Trans Musi. Meski sekarang kondisinya agak menurun, sejak tahun 2009 sudah beroperasi 8 koridor BRT. Namun, menurut Djoko, masih perlu keseriusan lagi mengelolanya.

Ia mengungkapkan, keunggulan LRT ini adalah bebas hambatan, tidak satupun ada perlintasan sebidang dengan jalan raya, sehingga tidak mengganggu perjalanan kereta. Tapi, masih ada yang harus ditata oleh pemkot Palembang agar LRT Sumsel dapat disukai warga.

Yakni, menata trotoar sepanjang jalur LRT Sumsel dan menata ulang trayek (rerouting) BRT Trans Muso dan angkot yang ada. Saat ini, Djoko menuturkan, trotoar sepanjang jalur LRT Sumsel sangat buruk dan tidak memadai untuk digunakan.

"Trotoar harus bagus dan humanis, karena pengguna transportasi umum, entah bus maupun kereta adalah pejalan kaki untuk menuju halte dan stasiun. Perhatian trotoar terhadap difabilitas adalah penting. Sudah ada UU 8 tahun 2016 tentang disabilitas yang harus diakomodir untuk fasilitas transportasi," jelas Djoko.

Ia menambahkan, Kota Bandung dan Surabaya sudah lama, bahkan lebih dulu menyiapkan kereta ringan. Dua jalur trem untuk Surabaya dan dua jalur kereta ringan layang untuk Bandung. Menurut Djoko, yang harus diperhatikan pemda tidak hanya minta dibangun, tapi pikirkan juga kemampuan subsidinya.

"Jika kemampuan finansial APBD terbatas, cukup mulai membangun transportasi publik berbasis jalan raya dengan bus. Prasarana jalan sudah ada, tinggal adakan arnada bus, tambah bangunan halte dan sistem tiketing serta depo bus. Kemudian tambahkan sentuhan teknologi informatika untuk layanan lebih baik," ucap dia.

Djoko menegaskan, demam transportasi umum baik, tapi tidak boleh memaksakan harus bangun LRT. Diketahui, LRT Sumatera Selatan mulai dibangun sejak Oktober 2015, sekarang sudah mencapai 30 persen selesai. Nantinya, LRT sepanjang 23,4 km inii akan melayani penumpang bandara dan kawasan perkotaan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement