Rabu 28 Dec 2016 12:00 WIB

Warga Rusun Keluarkan Uang Lebih Banyak, Ini Kata Sumarsono

Rep: Noer Qomariah Kusumawardhani/ Red: Bilal Ramadhan
Rumah Susun alias Rusun (ilustrasi)
Foto: Republika/Yogi Ardhi
Rumah Susun alias Rusun (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menemukan banyak warga korban penggusuran yang tidak mendapatkan solusi setelah pindah ke rumah susun (Rusun). Padahal rusun ini selalu disebut-sebut sebagai solusi utama bagi warga korban penggusuran.

Warga mengalami penurunan pendapatan. Namun hal tersebut diiringi dengan pengeluaran warga yang meningkat. Menanggapi hal ini, PelaksanaTugas (Plt) Gubernur DKI Jakarta Sumarsono mengatakan hal tersebut merupakan start awal karena penyesuaian antara hidup di rusun dengan hidup di tempat sebelum dipindahkan.

"Ini hanya start awal karena penyesuaian saya kira. Kalau yang sebelum digusur kan dia hidup sederhana, sederhana di pinggir kali misalnya seperti itu kan, pekerjaannya dekat, karena  faktor jarak, faktor ini dan seterusnya. Itu saya kira dalam batas wajar apalagi mereka ga bekerja, kehilangan pekerjaan, pasti merasa lebih banyak (mengeluarkan uang)" kata Sumarsono di Balai Kota DKI Jakarta, Rabu (28/12).

Pria yang akrab disapa Soni ini kemudian melanjutkan pemerintah tetap berkomitmen sesuai dengan konsep relokasi. Ia mengatakan warga tersebut bukanlah digusur, melainkan direlokasi.

"Jadi konsepnya bukan penggusuran, konsepnya relokasi. Dua hal yang berbeda ya. Kalau penggusuran atau digusur terserah tinggal dimana. Tapi kalau relokasi sudah dipastikan dia akan tinggal kemana sudah jelas," ujarnya.

Konsep tersebut, Sumarsono mengatakan, tidak hanya sekedar menjadi urusan Dinas Perumahan, namun dinas yang lain harus mengintegrasikan kebijakannya dengan menyiapkan lapangan kerja untuk warga yang tinggal di rusun. Selain itu, menyediakan fasilitas transportasi dan akses-akses kemudahan yang lain di rusun.

Konsepnya tidak hanya sekedar dinas perumahan, maka dinas yang lain itu harus mengintegrasikan kebijakannya dengan menyiapkan lapangan kerja buat mereka di rumah susun dengan mudah, menyediakan fasilitas transportasi dan akses-akses kemudahan yang lain di rumah susun, baru bisa menjawab bahwa tinggal di rumah susun lebih aman, nyaman, dan murah.

"Sekarang ini kita dalam proses menuju itu. Jadi, oleh karena itu kalaupun ada transisi merasa mahal masih dalam batas kita bisa paham. Tapi kita menuju proses penyelesaian masalah tersebut," katanya.

Sebelumnya, LBH melakukan survei pada April dan Oktober 2016 terhadap warga yang tinggal di rusun. Ditemukan 66,7 persen mengaku hanya membayar Rp 0-Rp 100 ribu per bulan untuk biaya sewa sebelum digusur.

Namun setelah menempati rusun, 35 persen warga mengalami peningkatan pengeluaran uang sewa hingga Rp 100 ribu sampai Rp 200 ribu per bulan. 42 persen warga lainnya mengeluarkan uang sejumlah Rp 200 ribu hingga Rp 300 ribu per bulan. Sementara 18 persen membayar diatas Rp 300 ribu per bulan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement