REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ahli Pidana, Abdul Chair Ramadhan menilai, apa yang disangkakan terhadap Buni Yani, Pengunggah kembali video Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), terkait Al Maidah ayat 51 di Kepulauan Seribu, tak memenuhi unsur pidana. Menurutnya, hukum pidana Indonesia menganut pemisahan antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana, yang dikenal dengan ajaran dualistis, bukan sebaliknya monoistis.
Abdul menjelaskan, tindak pidana hanya menyangkut perihal 'perbuatan' (actus reus). Sementara, perihal orang yang melakukan perbuatan dan kepadanya dipertanggungjawabkan adalah hal yang lain.
Dengan pemisahan ini, maka kesalahan (mens rea) menjadi faktor yang menentukan dalam pertanggungjawaban pidana. Pertanggungjawaban pidana dilakukan atas dasar hukum tidak tertulis "tiada pidana tanpa kesalahan" (geen straf zonder schuld beginsel). "Tegasnya, seseorang yang melakukan perbuatan pidana belum tentu dijatuhi pidana, tergantung apakah orang tersebut dapat dimintakan pidana atau tidak," kata dia dalam keterangan tertulis, Kamis (15/12).
Kesalahan sebagai unsur subjektif menuntut adanya kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa). Pada sangkaan terhadap Buni Yani yang didasarkan pada Pasal 28 ayat 2 UU ITE, menimbulkan konflik norma dalam penerapan hukum terhadap peristiwa konkrit yang terjadi. Menurutnya, ada beberapa unsur yang patut dicermati, di antaranya unsur kesengajaan. Perbuatan Buni Yani mengedit video pidato Ahok tidaklah termasuk perbuatan yang dilarang, dengan demikian tidak ada sifat melawan hukum.
Sebab, pengeditan tidak ada mengurangi dan/atau menambah konten aslinya. Buni Yani hanya bermaksud mempertegas adanya kalimat yang dianggapnya bermasalah, dan ternyata benar dikemudian hari asumsinya itu menjadi peristiwa hukum yang menjadikan Ahok sebagai tersangka.
Kemudian terkait dengan tulisan Buni Yani dalam akun FB yang dipersoalkan, mengutip tanpa menyebut kata 'pake' tidaklah mengurangi makna asli video. Selanjutnya, delik pada Pasal 28 adalah delik materil yang mensyaratkan adanya akibat.
"Tidak tepat jika adanya aksi unjuk rasa masyarakat dan berbagai pelaporan terhadap Ahok, dimaksudkan dalam rumusan terjadinya akibat yang dikehendaki (Buni)," jelasnya.
Menurutnya, yang dilakukan Buni Yani tidaklah melawan hukum. Sebab, pengunggahan dengan pemenggalan dan termasuk konten dalam akun FB tidak ada hubungan antara perbuatan yang dilakukan dengan perbuatan yang dilarang dan adanya suatu akibat. "Jadi kesimpulannya Buni Yani tidak memenuhi unsur perbuatan pidana (actus reus) maupun unsur pertanggungjawaban (mens rea). Oleh karena itu hakim pada praperadilan harus menetapkan status tersangka kepada Buni Yani adalah tidak sah," terangnya.