Selasa 08 Nov 2016 01:42 WIB

Kunjungi PBNU, Komunikasi Pemerintah Jokowi Dinilai Bak Pemadam Kebakaran

Rep: Santi Sopia/ Red: Nidia Zuraya
Presiden RI Joko Widodo (kanan), Ketum PBNU Said Aqil Siradj (kedua kanan), Rois Aam PBNU Ma'ruf Amin (kedua kiri), dan Sekjen PBNU Helmi Faisal Efendi berjalan keluar seusai mengadakan pertemuan tertutup di kantor PBNU, Jakarta, Senin (7/11)
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Presiden RI Joko Widodo (kanan), Ketum PBNU Said Aqil Siradj (kedua kanan), Rois Aam PBNU Ma'ruf Amin (kedua kiri), dan Sekjen PBNU Helmi Faisal Efendi berjalan keluar seusai mengadakan pertemuan tertutup di kantor PBNU, Jakarta, Senin (7/11)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo (Jokowi) berkunjung ke Kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan melakukan dialog dengan sejumlah pengurus PBNU pada Senin (7/11). Mereka membicarakan berbagai hal, termasuk kondisi situasi politik terkini di Tanah Air.

Menurut Direktur EmrusCorner, Emrus Sihombing, kunjungan itu tentu sangat baik dalam rangka menjalin komunikasi silaturahmi dan atau komunkasi politik antar ulama dan umara (pemerintah). Komunikasi politik, semacam itu, kata dia, idealnya dilakukan berencana dan berkesinambungan secara terus menerus.

"Jangan sampai komunikasi politik baru dilakukan pada saat kondisi sudah genting. Tidak boleh terjadi komunikasi politik pemerintah dengan berbagai pihak seperti pemadan kebakaran," kata Emrus, Senin (7/11).

Emrus mengatakan, dengan demikian, segala persoalan kebangsaan dapat diantisipasi dan mempertemukan kesepatakan sebagai solusi mengatasi persolan kebangsaan lebih dini. Ia menilai aksi damai pada Jumat (4/11), tidak lepas dari ruang komunikasi politik antara pemerintah dengan organisasi kemasyarakatan (ormas) belum berjalan maksimal.

Dua tahun masa pemerintahan Presiden Jokowi memang telah berhasil melakukan konsolidasi politik menata susunan kabinet dan dukungan politik di parlemen. Namun, sambung dia, keran komunikasi politik antara pemerintah dengan berbagai Ormas masih terkesan terabaikan.

"Padahal, kekuatan politik real ada di masyarakat yang diwakili oleh kekuatan ormas, baik yang berbasis ideologis, ke-agama-an, profesi dan sebagainya," lanjutnya.

Karena itu, ia menekankan, komunikasi politik antara pemerintah dengan masyarakat sipil sama sekali tidak boleh dianggap remeh. Bukti sejarah menunjukkan, peristiwa 1998 lalu lebih dimotori oleh kekuatan sipil daripada kekuasaan partai dan kabinet.

Bila terjalin komunikasi politik yang produktif antara pemerintah dengan Ormas, sangat banyak yang bisa dilakukan bersama dalam membangun karakter kebangsaan.

Misalnya, kerja sama antara pemerintah dengan organisasi keagamaan dapat diwujudnyatakan dalam bidang kesehatan,  pendidikan dan  program deradikalisasi di ruang publik.  Jadi, pemerintah tidak boleh hanya memprioritaskan pembangunan fisik seperti infrastruktur, tetapi yang tidak kalah pentingnya membangun karakter rasa kebangsaan bagi segenap warga negara Indonesia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement