REPUBLIKA.CO.ID, PURWAKARTA -- PJT II Jatiluhur kesulitan dalam melakukan penertiban terhadap keramba jaring apung (KJA). Hingga sat ini jumlah KJA mencapai 23 ribu unit dari yang idealnya hanya 4.000 unit.
Direktur Utama PJT II Jatiluhur, Djoko Saputro, mengatakan, sejak lama kualitas air Waduk Jatiluhur buruk. Hal itu disebabkan endapan dari zat kimia dari limbah pakan ikan KJA. Padahal, selain untuk suplai irigasi (pertanian), air waduk tersebut diperuntukan bagi air baku industri dan PDAM.
"Solusinya, harus ada penertiban KJA," ujar Djoko, kepada Republika.co.id, Senin (7/11).
Akan tetapi, karena keterbatasan personel dan biaya, maka PJT II kembali mengadukan masalah ini ke Pemkab Purwakarta. Tujuannya agar strerilisasi KJA ini bisa dikerja samakan. Supaya hasilnya lebih maksimal lagi.
Sebenarnya, lanjut Djoko, penertiban KJA sudah pernah dilakukan. Yakni, sepanjang 2015 lalu. Adapun KJA yang berhasil ditarik ke darat mencapai 1.300 unit.
Pada akhir 2016 nanti izin usaha seluruh KJA sudah berakhir. Sehingga momen ini sangat tepat untuk menertibkan kolam budidaya ikan air tawar tersebut.
"Diharapkan izin KJA tak lagi dikeluarkan, baik oleh PJT II Jatiluhur maupun pemda. Karena kami ingin Waduk Jatiluhur bersih dari KJA," jelasnya.
Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi, mengatakan, pihaknya berjanji tidak akan mengeluarkan izin usaha untuk pembudidaya KJA. Sebab, keberadaan KJA menjadi salah satu faktor kerusakan lingkungan di waduk terbesar di Indonesia itu.
"Keuntungannya dinikmati pembudidaya, tetapi masyarakat luas harus menanggung efek negatifnya," ujar Dedi.
Salah satunya, setiap tahunnya Pemkab Purwakarta harus menggelontorkan anggaran sebesar Rp 1,5 miliar untuk biaya mensterilkan air PDAM. Sebab air baku yang dialirkan ke warga Purwakarta ini berasal dari Waduk Jatiluhur.
"Kami siap bekerja sama dengan PJT mengenai penertiban ini," jelasnya.