REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hajar berpendapat, pada umumnya, gelar perkara suatu kasus oleh kepolisian dan pihak terkait diadakan tertutup. Namun, pada kenyataannya, gelar perkara bisa saja dilakukan terbuka, jika keadaan mengharuskannya.
"Gelar perkara itu biasanya dilakukan oleh kepolisian dan pihak-pihak terkait secara tertutup. Namun, karena keadaan tidak dilarang untuk diadakan secara terbuka," kata Fickar saat dihubungi Republika.co.id, Senin (7/11).
Menurut Fickar, yang terpenting diingatkan dalam kasus dugaan penistaan Alquran yang dilakukan oleh Ahok adalah bahwa hukum pidana itu ada untuk melindungi pihak korban. Jadi, kejelasan apakah korban itu terlanggar haknya oleh pelaku secara subjektif harus dinyatakan oleh korban.
Sebelumnya, Kapolri Jenderal Tito Karnavian menyatakan gelar perkara (ekspose) kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan calon petahana gubernur (cagub) DKI Jakarta Ahok akan dilakukan secara terbuka. Hal ini merupakan permintaan langsung dari Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Permintaan gelar perkara terbuka oleh presiden adalah ditujukan untuk menghindari adanya "syak wasangka" atau prasangka buruk. Sebab, dengan gelar perkara secara terbuka kepada publik dan langsung, maka publik dapat mengetahui kejernihan kasus itu.