Rabu 22 Feb 2017 10:41 WIB

Hak Angket Jadi Saluran Tegakkan Keadilan Kasus Ahok

Rep: Amri Amrullah/ Red: Indira Rezkisari
Empat Fraksi di DPR resmi menyerahkan usulan hak angket terkait pelantikan Basuki T Purnama sebagai gubernur di DKI, di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (13/2).
Foto: Republika/Eko Supriyadi
Empat Fraksi di DPR resmi menyerahkan usulan hak angket terkait pelantikan Basuki T Purnama sebagai gubernur di DKI, di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (13/2).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Anggota DPR RI, Refrizal, menilai Aksi Bela Islam 21 Februari 2017 atau yang dikenal dengan Aksi 212, bak isyarat. Yakni, agar jangan sampai umat Islam mengambil tindakan sendiri atas tidak kunjung diberhentikan sementara Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok dari posisi sebagai Gubernur DKI.

"Ini sudah berulang kali aksinya, jangan sampai umat Islam ini mengambil tindakan sendiri," jelas Refrizal, Selasa (21/2).

Oleh karena itu, Refrizal menilai hak angket yang diajukan DPR kepada pemerintah adalah salah satu upaya menegakkan keadilan. "Saya minta tegakkan keadilan nonaktifkan segera Ahok. Di DPR akan bergerak hak angket, saya salah satu inisiator hak angket akan terus perjuangkan agar ini diterima," jelas wakil rakyat dari Fraksi PKS dari Sumatera Barat ini.

Diketahui, hari ini, para ulama yang tergabung dalam Forum Umat Islam (FUI) mendatangi DPR RI untuk meminta agar Ahok segera dinonaktifkan sementara. Selain itu, mereka juga meminta agar tidak terjadi kriminalisasi atas para ulama yang diperiksa oleh kepolisian dengan dugaan tindakan pencucian uang.

"Tadi semua aspirasi diperjuangkan, ada yang diterima oleh pimpinan dpr, ada yang besok raker dengan Kapolri agar tidak dikriminalisasi para ulama. Mereka minta kalau bisa dihentikan (SP3) kasus yang menimpa Habib Rizieq,  Bachtiar Nasir, dan sebagainya," ujarnya.

Jika presiden tidak kunjung menonaktifkan sementara Ahok, maka DPR akan terus memperjuangkan hak angket di Rapat Paripurna DPR. "Karena ia berkeyakinan pemerintah telah melanggar UU 23 Tahun 2014 Pasal 83 ayat 1, 2, dan 3 tentang Pemerintahan Daerah," terang Refrizal.

Dalam kasus penistaan agama, Ahok didakwa dengan Pasal 156 dan 156a KUHP. Pasal 156 KUHP akan bersinggungan dengan persoalan 'perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia' di UU Nomor 23 Tahun 2014 Pasal 83 ayat 1.

Sedangkan, Pasal 156a, menyebutkan hukuman selama-lamanya lima (5) tahun yang dalam UU Pemda tersebut, harus dinonaktifkan sementara berdasarkan register perkara di pengadilan.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement