REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gerakan Pekerja Indonesia (GPI) menilai salah besar apabila ada yang menilai aksi 4 November adalah aksi Front Pembela Islam (FPI). Sebab faktanya, bukan hanya FPI yang mengikuti aksi tersebut melainkan ratusan ribu orang dari berbagai elemen, salah satunya buruh.
Keterlibatan kaum buruh dalam aksi 4 November semakin menegaskan bahwa aksi ini merupakan aksi lintas elemen. "Oleh karenanya, aksi tidak bisa dikerdilkan sebagai aksi yang dilakukan satu elemenn saja," ujar juru bicara GPI Kahar S Cahyono, Jumat (4/11).
Dia menyebut tak terhitung berapa kali buruh mendemo Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Jauh sebelum hari ini, buruh mendemo Ahok karena dugaan sejumlah korupsi yang dilakukannya. Tidak hanya di Balai Kota, aksi buruh juga dilakukan hingga ke kantor KPK. "Bukan hanya sekali dua kali aksi seperti ini dilakukan. Catat baik-baik, ini bukan aksi terkait ras atau agama," ujarnya.
Buruh, kata Kahar, juga kembali bergerak ketika Ahok melakukan penggusuran dan mendukung reklamasi. Bahkan sekali waktu buruh melakukan seminar untuk menyoroti kebijakan reklamasi yang dinilai memporak-porandakan kehidupan nelayan itu. Tuntutan terhadap upah layak tak terhitung berapa jumlahnya. Bahkan beberapa waktu lalu buruh memberi 'gelar' kepada Ahok sebagai 'Bapak Upah Murah dan Bapak Tukang Gusur Rakyat Kecil'.
GPI sepakat, tidak seorang pun boleh menistakan agama apa pun. Bahkan jika dia memiliki kedudukan terhormat, sebagai gubernur, misalnya. "Sudah menggusur, memberikan upah murah, menistakan agama lagi. GPI bisa mengerti kemarahan ini. Sekali lagi, buruh tidak membedakan SARA dan karena itu buruh marah ketika ada yang mengangkanginya," kata Kahar.