REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Dalam rangka evaluasi dua tahun kepemimpinan Joko Widodo dan Jusuf Kalla (Jokowi-JK), hukuman mati dinilai masih perlu menjadi sorotan. Terutama terkait peran dan kinerja Jaksa Agung.
Ketua Badan Pengurus Setara Institute Hendardi mengatakan eksekusi mati gelombang III menyisakan masalah serius akibat kecerobohan Jaksa Agung HM Prasetyo yang memberikan perintah eksekusi mati atas terpidana mati Seck Osmane dan Humprey Ejike Aweleke. Keduanya adalah warga negara Nigeria yang sedang mengajukan grasi untuk kedua kalinya.
Dengan tetap mengeksekusi, Jaksa Agung dinilai telah melanggar Putusan Mahkamah Konstitusi No.107/PUU-XIII/2015. Di dalamnya diatur bahwa grasi boleh diajukan lebih dari satu kali.
Bahkan Jaksa Agung juga melampaui kewenangan Presiden Jokowi, pihak yang sedang dituju oleh terpidana untuk memberikan pengampunan melalui grasi. "Sejak menjabat, tidak ada prestasi yang berarti kecuali menjalankan eksekusi mati untuk menutupi kelemahan kinerja dirinya dalam bidang penegakan hukum, pemberantasan korupsi, dan penuntasan pelanggaran HAM," ujarnya, Senin (24/10).
Hendardi mengatakan Prasetyo lolos dari dua kali episode perombakan kabinet karena seolah-olah bekerja menegakkan hukum, padahal hanya membangun citra tanpa substansi. Menurut dia, kecerobohan Prasetyo bukan hanya mencoreng wajah kabinet dan wajah Presiden Jokowi, tetapi berimplikasi pada kinerja institusi Kejaksaan Agung yang semakin tidak dipercaya publik.
"Aspek kemanusiaan di tangan Prasetyo hanyalah komoditas yang bisa dipertukarkan untuk aneka kepentingan," kata Hendardi. Dia menyebut Prasetyo lebih senang berpolitik dengan berpura-pura menegakkan hukum, dibanding sungguh-sungguh menegakkan hukum.
Publik masih ingat betul bagaimana Prasetyo lincah menyelidiki kasus Novanto terkait Freeport, tetapi menguap tanpa penjelasan apapun. Pilihan Jokowi atas Prasetyo yang merupakan fungsionaris partai politik juga berkontribusi membuat kinerja Jaksa Agung semakin memburuk dibanding dengan institusi hukum lainnya.
Hendardi mengatakan paket reformasi hukum yang akan menjadi prioritas di tahun ketiga Jokowi, harus menyentuh reformasi kelembagaan Kejaksaan Agung dengan pertama-tama menyentuh pucuk pimpinan institusi hukum yang bermasalah. Menurut dia, dari beberapa institusi hukum yang berada di bawah kekuasaan eksekutif, posisi Jaksa Agung inilah yang paling lemah komitmennya menopang cita-cita reformasi hukum. "Jadi, sebagai bagian dari paket reformasi hukum dan mempertimbangkan segala kecerobohan dan tindakannya yang melawan hukum, Jokowi sebaiknya mengganti HM Prasetyo," ujar Hendardi.