REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) berharap agar Perppu Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak (Perppu Kebiri) memiliki muatan pasal yang lebih baik untuk disahkan menjadi undang-undang.
Demi menghadirkan muatan pasal yang lebih baik itu, walau awalnya sempat menolak, fraksi PKS DPR RI kini menerima pengesahan Perppu tersebut. Namun ada beberapa catatan kritis sebagai upaya untuk memperbaiki kekurangan yang ada dalam Perppu Kebiri tersebut.
"Kami menganggap perppu ini ibarat handphone dengan casing bagus, tapi isinya keropos. Karena masih ada beberapa kekurangan, walaupun secara wacana menginginkan pemberatan hukuman bagi pelaku," kata anggota Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI, Iskan Qolba Lubis di Jakarta, Kamis (13/10).
Beberapa catatan kritis Fraksi PKS tersebut adalah pertama, mengenai langkah alternatif pemerintah dalam menanggulangi kekerasan seksual yang terjadi terhadap anak, dibandingkan mengeluarkan perppu, dengan mengacu pada persebaran data kekerasan seksual yang ada di Indonesia.
Menurut dia, kesan yang ada dari dikeluarkannya perppu ini adalah pemerintah terburu-buru karena desakan opini publik. "Padahal penyebab orang melakukan kejahatan seksual bukan semata karena hasrat libido yang tinggi, tapi juga menyangkut mental orang tersebut," ujar legislator PKS dari daerah pemilihan Sumatera Utara II ini.
Kedua, dengan adanya perppu ini, harus menjadi jalan untuk merevisi UU Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002 menjadi komprehensif agar dalam rangka perlindungan anak, tidak sekadar memberikan pemberatan hukuman kepada pelaku kekerasan di bawah umur.
Pada prinsipnya, kata dia, PKS sangat konsen melindungi perempuan dan anak, namun harus diatur dengan regulasi yang komprehensif. Ketiga, dengan adanya penyusunan UU Perlindungan Anak yang lebih komprehensif tersebut, maka pemberatan hukuman bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak juga harus memerhatikan masa depan anak, bukan dengan semata-mata menaikkan ancaman pidana.
Begitu pun bagi korban, bagaimana merehabilitasi anak akibat trauma, bagaimana peran pemerintah daerah untuk lebih ditingkatkan melindungi anak dan perempuan, meningkatkan sensitivitas penegak hukum dalam menangani kasus kekerasan seksual, dan yang terpenting faktor pemicu minuman beralkohol dan pornografi, harus dihapuskan.