Kamis 06 Oct 2016 15:32 WIB

KSTJ: Luhut tidak Transparan Soal Reklamasi Teluk Jakarta

Rep: Ahmad Islamy Jamil/ Red: Bayu Hermawan
Suasana pulau hasil reklamasi di Teluk Jakarta.
Foto: Republika/Yogi Ardhi
Suasana pulau hasil reklamasi di Teluk Jakarta.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejumlah kelompok masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta (KSTJ) pada Agustus lalu telah melayangkan surat kepada Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman (Menko Maritim) Luhut Binsar Pandjaitan. Mereka meminta Luhut untuk membuka hasil kajian mengenai reklamasi di kawasan pesisir utara Jakarta oleh komite gabungan pemerintah kepada publik.

Akan tetapi, sampai hari ini, Luhut tidak kunjung memberikan informasi yang sesuai dengan permintaan KSTJ tersebut. Atas sikap Luhut yang tertutup itu, KSTJ pada Rabu (5/10) kemarin akhirnya menggugat sang menteri ke Komisi Informasi KI.

"Ketertutupan Menko Maritim ini layak menimbulkan tanda tanya di kalangan masyarakat, ada apa sebenarnya di balik proyek reklamasi Teluk Jakarta?" ujar anggota KSTJ yang juga peneliti Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Rayhan Dudayev, kepada Republika.co.id,Kamis (6/10).

Dia menilai Luhut tidak transparan dalam menjelaskan alasan dilanjutkannya proyek reklamasi di kawasan pesisir utara Jakarta. Sebab sejak mantan menko maritim Rizal Ramli membentuk komite gabungan pemerintah untuk mengkaji reklamasi pada 18 April 2016, hasil kajian tim tersebut tidak pernah bisa diakses masyarakat hingga saat ini.

Rayhan mengungkapkan, KSTJ pada 1 Agustus lalu pernah mengirimkan surat kepada Luhut yang isinya mendesak supaya informasi mengenai hasil kajian reklamasi oleh komite gabungan pemerintah dibuka ke publik.

Kemenko Maritim, kata dia, memang sempat merespons permintaan KSTJ tersebut. Akan tetapi, informasi yang diberikan Kemenko Maritim pada waktu itu menurutnya hanya sebatas untuk memenuhi kewajiban prosedural instansi dalam memberikan informasi.

"Informasi yang diberikan Kemenko Maritim sangat singkat dan tidak kompehensif terkait dengan kajian lingkungan, sosial, maupun hukum reklamasi Teluk Jakarta," ucapnya.

Menko Maritim Luhut Binsar Pandjaitan sebelumnya menyatakan proyek reklamasi Teluk Jakarta, termasuk pembangunan Pulau G, dapat dilanjutkan. Klaim Luhut tersebut bertentangan dengan pernyataan yang pernah disampaikan menko maritim sebelumnya, Rizal Ramli.

Rayhan berpendapat, jika Luhut menyatakan proyek reklamasi Pulau G tidak bermasalah, pemerintah seharusnya bisa menunjukkan hasil kajian yang komperehensif yang menyebutkan bahwa secara dampak ekologis dan sosial, reklamasi patut untuk dilanjutkan.

"Namun, jika pemerintah tidak mampu menunjukkan hasil kajian komprehensif tersebut kepada publik, kami berani mengatakan bahwa rekomendasi Luhut itu hanya didasarkan kepada keinginan pengembang semata," ujarnya.

Aktivis dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Tigor Hutapea mengatakan, proses pembuatan kebijakan reklamasi yang tertutup oleh Luhut ini bertentangan dengan Pasal 3 Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) yang menjamin hak warga negara untuk mengetahui alasan pengambilan suatu keputusan atau kebijakan publik oleh pemerintah.

Sementara, Pasal 5 Peraturan Komisi Informasi (Perki) No 1 Tahun 2013 menyebutkan, penyelesaian sengketa informasi publik lewat Komisi Informasi dapat ditempuh apabila pemohon tidak puas dengan tanggapan yang diberikan oleh atasan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID). Dalam kasus reklamasi Teluk Jakarta, yang bertindak sebagai atasan PPID adalah Menko Maritim.

"Atas dasar itulah, kami mengajukan sengketa informasi terhadap Luhut ke Komisi Informasi, kemarin. Kami berharap, segala proses pembangunan yang bakal memengaruhi hajat hidup rakyat banyak, terutama kaum nelayan, dapat dilakukan dengan transparan dan akuntabel ke depannya," jelasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement