Rabu 05 Oct 2016 01:03 WIB

Reformasi TNI Dinilai Alami Stagnasi

Rep: umi nur fadhilah/ Red: Esthi Maharani
Tentara Nasional Indonesia
Foto: ANTARA
Tentara Nasional Indonesia

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tentara Nasional Indonesia (TNI) akan merayakan hari ulang tahun yang ke-71 pada 5 Oktober 2016. Namun, Koalisi Masyarakat Sipil mencatat jalannya reformasi militer Indonesia tidak berbanding lurus dengan kematangan usianya. Koalisi Masyarakat Sipil untuk reformasi sektor keamanan terdiri dari, Imparsial, LBH Pers, Elsam, YLBHI, ICW, Lespersi, HR WG, Kontras, IDSPS, CLDS, LBH Jakarta, Setara Institute, dan INFID.

Direktur Imparsial, Al Araf menilai reformasi TNI mengalami stagnasi karena masih banyak agenda reformasi TNI yang belum dijalankan. Padahal, ia melanjutkan, agenda tersebut merupakan mandat awal reformasi pada 1998.

"Koalisi menilai, terjadi stagnasi dalam reformasi TNI," kata Al Araf di Kantor Imparsial, Jakarta, Selasa (4/10).

Ia merinci, setidaknya ada tujuh catatan agenda reformasi TNI yang harus didorong Pemerintah Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla (JK). Pertama, restrukturisasi Komando Teritorial (Koter). Agenda tersebut disuarakan satu paket dengan penghapusan peran sosial politik ABRI/TNI atau dwifungsi ABRI. Kendati peran politik ABRI/TNI telah dihapus, namun struktur Koter tak kunjung direstrukturisasi.

Kedua, reformasi sistem peradilan militer melalui perubahan UU Nomor 31 Tahun 1997. Agenda ini merupakan salah satu jantung reformasi TNI. UU ini membuat TNI memiliki rezim hukum sendiri. Artinya, anggota TNI yang melakukan tindak pidana umum, diadili di peradilan militer. Namun dalam praktinya, peradilan militer menjadi impunitas bagi anggota militer yang melakukan tindak pidana.

Ketiga, hadirnya rancangan regulasi dan kebijakan keamanan yang mengancam demokrasi. Dinamika legislasi memunculkan sejumlah regulasi yang memberi ruang pelibatan militer dalam keamanan dan ranah sipil. Hal tersebut berpotensi mengancam kehidupan demokrasi dan HAM. Salah satunya, yakni munculnya RUU Rahasia Negara dan RUU Keamanan Nasional (Kamnas) yang masuk Prolegnas 2015-2019. Serta, berbagai penandatanganan nota kesepahaman antara TNI dan instansi pemerintahan.

Keempat, konflik antara TNI-Polri. Ada sejumlah faktor yang diduga menjadi penyebab bentrokan TNI-Polri di daerah. Contohnya jiwa korsa yang keliru, budaya penghormatan terhadap hukum yang rendah, arogansi, faktor kesejahteraan yang rendah, disiplin dan kendali komando yang lemah, sanksi hukum yang tidak maksimal, minimnya komunikasi anggota TNI-Polri serta keterlibatan anggota dalam bisnis ilegal.

Kelima, membangun transparansi dan akuntabilitas dalam pengadaan alutsista. Selama ini, pengadaan alutsista bukan hanya menyimpang dari kebijakan pembangunan postur pertahanan. Namun juga sarat dugaan mark up dalam pengadaan alutsista.

Keenam, kekerasan TNI terhadap masyarakat dan pembela HAM. Ketujuh, meningkatkan kesejahteraan prajurit TNI. Dengan beban yang berat, wajar apabila profesionalisme TNI ditunjang dengan kesejahteraan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement