REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebutkan pemberian informasi konsumen mengenai produk ramah lingkungan melalui ekolabel mampu mendorong pola konsumsi dan produksi yang berkelanjutan. Menurut dia, kunci pola produksi dan konsumsi yang berkelanjutan adalah mengenai informasi apa yang ramah lingkungan dan apa yang tidak ramah lingkungan.
"Dimulai dari bisnisnya, mereka harus paham betul mengenai ramah lingkungan, tidak bisa diperintah begitu saja," kata Kepala Pusat Standardisasi Lingkungan dan Kehutanan KLHK, Noer Adi Wardojo.
Dia percaya pemberian ekolabel dapat membantu kelompok industri memiliki peta jalan yang lengkap dalam identifikasi permasalahan produk dari sisi lingkungan. Kriteria instrumen ekolabel tersebut antara lain menyangkut produk yang mengandung sedikit bahan kimia ("less chemical") dan efisiensi energi barang-barang elektronik seperti pendingin ruangan dan televisi.
"Misalnya baterai nonmerkuri, lalu kertas dari sumber kayu yang dikelola secara lestari dan legal. Inilah yang kami usahakan supaya produk ramah lingkungan menjadi terverifikasi dan mendapatkan kepercayaan publik," kata Adi.
Sementara itu, Associate Programme Officer Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP), Bettina Heller, berpendapat pemerintah perlu memperhatikan dua isu kebijakan terkait pola konsumsi dan produksi yang berkelanjutan, yaitu perlindungan konsumen dan tujuan berkelanjutan melalui insentif bagi industri untuk mengubah proses produksi.
"Perlu adanya panduan membeli produk bagi konsumen dan pemberian insentif pasar bagi yang memproduksi barang dan jasa yang berkelanjutan," kata Bettina.
Merujuk pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, beberapa insentif pemerintah adalah memberikan pengakuan ramah lingkungan dan pemihakan melalui pengadaan barang jasa yang berlabel ramah lingkungan.
"Kami dorong ini menjadi insentif yang bernilai. Yang penting harus bisa dikenali oleh masyarakat. Kami juga membentuk tim teknis lintas kementerian untuk menetapkan daftar yang merujuk ke ekolabel ramah lingkungan," kata Adi.
Pola konsumsi dan produksi berkelanjutan (sustainable consumption and production/SCP) telah menjadi agenda pembangunan global sejak 1990-an. Konferensi PBB tentang Lingkungan dan Pembangunan di Rio de Janeiro, Brasil, pada 1992 memunculkan pengakuan bahwa penyebab utama kerusakan lanjutan ligkungan pola konsumsi dan produksi yang tidak berkelanjutan.
Kemudian pada 2012, di Konferensi Rio+20 PBB untuk Pembangunan Berkelanjutan, kepala-kepala negara sepakat untuk mempercepat penerapan SCP dengan mengadopsi Kerangka Kerja 10 Tahun Konsumsi dan Produksi Berkelanjutan (10YFP), yang salah satu programnya yaitu "Consumer Information-Sustainable Consumption and Production" (CI-SCP).
Tujuan utama rangkaian kegiatan CI-SCP Indonesia adalah memberikan rekomendasi kegiatan bagi KLHK dalam melaksanakan CI-SCP melalui pemberian informasi konsumen, mengubah perilaku ke arah berkelanjutan, dan memperbanyak komunikasi guna mendorong perubahan sikap.