Selasa 27 Sep 2016 20:14 WIB

LBH: Penggusuran Bukit Duri Sarat Pelanggaran dan Intimidasi

Rep: Ahmad Islamy Jamil/ Red: Angga Indrawan
  Alat berat sudah berada di lokasi penggusuran di kawasan Kampung Melayu Kecil, Bukit Duri, Jakarta, Selasa (27/9).
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Alat berat sudah berada di lokasi penggusuran di kawasan Kampung Melayu Kecil, Bukit Duri, Jakarta, Selasa (27/9).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berencana bakal menggusur paksa permukiman warga di Bukit Duri, Tebet, Jakarta Selatan, besok pagi (28/9). Kawasan yang akan digusur di sana adalah RW (rukun warga) 09, 10, 11 dan 12 dengan total luas area 1,7 hektare.

Di atas lahan tersebut, berdiri lebih dari 320 bangunan dan ditempati oleh sekira 384 kepala keluarga (KK). Penggusuran Bukit Duri oleh Pemprov DKI Jakarta dikatakan menjadi bagian dari proyek normalisasi Sungai Ciliwung. Namun sayangnya, warga yang tinggal di sepanjang bantaran sungai itu tidak mendapatkan informasi secara jelas mengenai rencana teknis proyek tersebut.

“Kami tidak tahu menahu soal jelasnya proyek normalisasi Ciliwung, karena Pemda DKI Jakarta tidak pernah memberikan informasi secara transparan. Bahkan, kami tidak pernah diajak musyawarah. Pemerintah cuma sekadar melakukan sosialisasi dan mempresentasikan proyek rumah susun,” ungkap salah satu warga Bukit Duri, Santi Napitupulu, Selasa (27/9).

Aktivis dari Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (LBH Jakarta), Citra Referandum menuturkan, UU tentang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (UU Ekosob) telah menyatakan bahwa musyawarah yang tulus menjadi salah satu unsur yang wajib dipenuhi oleh pemerintah sebelum melakukan penggusuran. Akan tetapi, proses yang demokratis dan partisipatif tersebut tidak pernah dilakukan Pemda DKI sampai hari ini terhadap masyarakat Bukit Duri.

“Kami menilai, Pemprov DKI Jakarta melakukan penggusuran secara paksa dengan tidak memenuhi seluruh kewajibannya sebelum menggusur sebagaimana diatur dalam UU Ekosob," ujarnya.

Berdasarkan pantauan LBH Jakarta, kata Citra, ada berbagai bentuk pelanggaran yang dilakukan Pemprov DKI dalam kasus penggusuran warga Bukit Duri. Pertama, warga di sana merasa mendapat intimidasi dari aparat pemerintah dan kepolisian. Hampir setiap hari aparat dan polisi berkeliling di kampung itu.

Kedua, ada semacam upaya pemaksaan dari Pemda DKI kepada warga setempat agar mau dipindahkan ke rumah susun (rusun). Warga yang memilih pindah ke rumah kontrakan atau indekos juga dihalang-halangi oleh aparat pemerintah. Mereka dipaksa untuk memilih rumah susun daripada rumah kontrakan.

"Kami juga menemukan adanya keterlibatan TNI dalam rencana penggusuran. TNI juga terlihat berkeliling menyebarkan surat peringatan (SP) kepada warga," ucapnya.

Ketiga, kata Citra, Pemprov DKI tidak menghormati proses peradilan yang sedang berlangsung di PTUN dan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Berbagai bentuk intimidasi yang terjadi itu membuat warga Bukit Duri mengalami tekanan. Kendati demikian, hasil pantauan LBH Jakarta mengungkapkan, warga di sana sama sekali tidak melakukan perlawanan terhadap aparat. Mereka akan bersikap damai ketika penggusuran terjadi.

Citra menegaskan, LBH Jakarta mengecam keras bentuk-bentuk tindakan intimidasi yang terjadi di Bukit Duri. Hal itu menurut dia malah semakin memperlihatkan bahwa Pemda DKI dan aparat keamanan hanya menimbulkan keresahan di tengah-tengah masyarakat. "Padahal, pemerintah seharusnya memberi perlindungan, pengayoman, dan rasa aman kepada rakyat, bukan malah mengintimidasi mereka," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement