REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rumah Rakyat Indonesia (RRI) atas nama buruh mendesak MK cepat memutuskan Judicial Review UU Tax Amnesty yang diajukan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI). Hal itu dikarenakan masa berlaku pengampunan pajak yang sangat singkat hanya sampai Maret 2017.
Selain itu, buruh meminta para hakim MK bersikap independen, menggunakan hati nurani, menjunjung tinggi rasa keadilan, dan tidak bisa diintervensi oleh siapapun, termasuk presiden RI dalam memutuskan perkara UU Tax Amnesty ini. "Karena kami khawatir ada pesan tersirat dari presiden kepada para hakim MK ketika bertemu presiden di istana kemarin, mengenai keputusan judicial review UU tax amnesty ini," ujar Presiden KSPI sekaligus deklarator RRI, Said Iqbal, Jumat (2/9).
Iqbal menjelaskan, KSPI sedang mempersiapkan aksi 50 ribu orang serempak 20 provinsi pada 27 September, mendatang. Mereka menuntut agar menabut UU Tax Amnesty dan mencabut PP no 78/2015. Mereka juga menolak upah murah dan meminta menaikkan upah minimum 2017 Rp 650 ribu.
Aksi tersebut akan dilakasanakan di MK, istana, MA, dan kantor-kantor gubernur di daerah-daerah. Secara garis besar, Iqbal menyebutkan, hak konstitusi buruh yang dirugikan adalah rasa keadilan dan kesamaan hukum yang tidak terpenuhi. Di mana puluhan juta buruh taat bayar pajak dan kalau telat bayar didenda. Akan tetapi pengusaha dan korporasi pengemplang pajak malah diampuni.
Di samping itu, hak konstitusi buruh dirugikan dengan kembalinya kebijakan upah murah melalui PP no 78/2015. Tapi untuk pengusaha pengemplang pajak malah dikasih amnesti pajak. "Kesemua ini jelas bertentangan dengan UUD 45 pasal 23, 23A, dan 27," katanya.
Hak konstitusi buruh lainnya yang dirugikan adalah sebagai warga negara buruh menginginkan Indonesia bebas korupsi dan bebas narkoba. Tapi menurut Iqbal UU tax amnesty justru membuka lebar-lebar potensi pintu korupsi dan makin merajalela narkoba.
Dalam UU tersebut tidak mempersoalkan asal dana amnesti pajak. Sehingga bisa saja dana tersebut berasal dari dana milik koruptor, trafficking, bandar narkoba, dan lain-lain. Pembayaran denda dan nilai dana repatriasi maupun deklarasi bersifat tertutup, sehingga rawan korupsi. Kemudian, bagi yang membocorkan terkena pidana lima tahun.
"Sehingga jelas hal ini melanggar HAM bagi orang yang ingin mengungkapkan kebenaran, hukum telah dibarter dengan uang. Dengan demikian hal ini bertentangan dengan UUD 45 pasal 34."