Senin 25 Jul 2016 17:17 WIB

'Eksekusi Mati Hanya Pencitraan Pemerintah'

Rep: Qommarria Rostanti/ Red: Ilham
Hukum mati (ilustrasi).
Foto: ( Republika/ Wihdan)
Hukum mati (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID,‎ JAKARTA -- Koordinator advokasi Persaudaraan Korban NAPZA Indonesia (PKNI), Totok Yulianto mengatakan, terpidana mati Merry Utami tidak menempati posisi puncak dalam mata rantai penyalahgunaan narkoba di Indonesia. Posisinya hanyalah sebagai kurir.

Menurut Totok, eksekusi mati terhadap kurir tidak akan membuat masalah penyalahgunaan narkoba hilang begitu saja. "Itu (eksekusi mati) hanya pencitraan pemerintah saja supaya terlihat sudah berupaya mengatasi masalah narkoba," ujarnya kepada Republika.co.id, Senin (25/7).

Eksekusi mati dinilainya tidak memiliki hubungan dengan penyelesaian kasus penyalahgunaan narkoba. Totok menyebut tingkat penyelahgunaan narkoba justru meningkat meski telah ada hukuman mati. Malah jalur untuk mengungkap peredaran narkoba akan tertutup apabila para kurir dihukum mati.

"Posisi Merry ada di tengah. Saya pikir Merry bisa digunakan untuk membantu membongkar sindikat narkoba. Ini kuncinya," kata dia.

Menurut dia, pemerintah belum maksimal mengatasi permasalahan penyalahgunaan narkoba di Tanah Air. "Kalau penyalahgunaan narkoba dianggap sebagai tindak pidana kejahatan, maka harus dilihat korbannya ada di mana. Jangan malah tetap mendorong eksekusi mati kalau ternyata hukuman ini tidak berpengaruh pada berkurangnya jumlah narkoba," kata Totok.

Merry dilaporkan telah dipindah dari Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Wanita di Tangerang, Banten, ke Lapas Batu, Pulau Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah. Dia pun sudah dimasukkan dalam sel isolasi Lapas Besi. Merry ditangkap di Bandara Soekarno Hatta karena membawa 1,1 kilogram heroin. Pada 2003, Pengadilan Negeri Tangerang menjatuhkan hukuman mati kepadanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement