Sabtu 23 Jul 2016 09:36 WIB
Revisi UU Pemilu

Ini Kelemahan Pemilu Sistem Proposional Terbuka

Rep: Ahmad Islamy Jamil/ Red: Bayu Hermawan
Pemilu 2014
Foto: Republika/Musiron
Pemilu 2014

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rancangan revisi UU No.8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) yang diajukan pemerintah, kembali memunculkan perdebatan di antara elit Parpol mengenai sistem pemilihan anggota DPR, DPRD dan DPD.

Perdebatan 'klasik' antar elit Parpol itu terkait apakah sistem pemilihan anggota legislatif akan mempertahankan sistem proporsional terbuka, atau kembali menggunakan sistem proporsional tertutup.

Pengamat politik dari Voxpol Center, Pangi Syarwi Chaniago mengatakan perdebatan semacam itu sebenarnya bukan barang baru lagi di kalangan elite politik Indonesia.

"Kendati begitu, masyarakat awam tetap berhak tahu perbedaan karakterstik kedua sistem tersebut, sehingga mereka bisa menilai mana yang lebih cocok untuk diterapkan pada Pemilu yang akan datang," ujarnya kepada Republika.co.id, Jumat (22/7).

Pangi menjelaskan, Pemilu dengan sistem proporsional terbuka sudah pernah dilaksanakan sebanyak dua kali di Indonesia, yaitu pada Pemilu 2009 dan Pemilu 2014.

Pembenaran yang dibangun oleh pendukung sistem tersebut pada waktu itu, antara lain, rakyat memperoleh kedaulatan penuh dalam memilih calon wakil mereka di parlemen.

Sistem proporsional terbuka dinilai mampu menjamin dan memastikan suara rakyat menjadi penentu siapa-siapa saja yang akan duduk di parlemen. Alokasi nilai-nilai secara otoritatif dari partai  pun tampak jelas pada sistem ini.

"Akan tetapi, sistem proporsional terbuka juga memiliki sederet kelemahan yang bisa disaksikan sendiri oleh masyarakat kita saat ini," ujarnya.

 

Menurutnya sistem tersebut melahirkan wakil rakyat karbitan yang masih hijau, belum teruji, dan bahkan sebagian besar di antaranya bukan kader terbaik partai. Akibatnya, publik di negeri ini tidak jarang mendapati anggota parlemen yang terpilih justru gagal menjaga pintu moral dan tanggung jawab.

"Realitas kondisi masyarakat yang masih lapar dan miskin, cenderung memilih wakil rakyat dari kalangan pemilik modal dan berduit, mengabaikan soal fatsun politik, moralitas, apalagi kapasitas. Alih-alih memperjuangkan rakyat, fungsi pengawasan anggota dewan yang terpilih pun tidak maksimal," katanya.

 

Selain itu, kata Pangi lagi, pada sistem proporsional terbuka juga rentan menimbulkan persaingan yang kurang sehat (politik destruktif) antarcaleg dalam satu partai.

"Kontestasi yang terjadi bukan lagi antarpartai, tapi justru antara sesama anggota partai," ucapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement