REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT) menolak pernyataan medis jika pelaku kekerasan terhadap asisten rumah tangga (ART), Musdalifah Hasn Yamani, menderita gangguan jiwa. Karena pengidap gangguan jiwa tidak mengenal sasaran, bisa melakukan kekerasan pada siapa pun.
"Bila benar terdakwa mengidap gangguan jiwa, mengapa hanya melakukan tindakan kekerasan kepada PRT yang bekerja di rumahnya?" kata Koordinator Nasional Jala PRT Lita Anggraini melalui siaran pers di Jakarta, Jumat (15/7).
Karena itu, Lita menilai eksepsi Musdalifah Hasan Yamani, terdakwa kekerasan terhadap empat PRT, yang disampaikan penasihat hukumnya pada sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Kamis (14/7), terdakwa menderita gangguan jiwa. Sehingga tidak bisa dikenakan jeratan hukum, tidak bisa diterima.
Lita mengatakan, kekerasan yang dilakukan terhadap Sri Siti Marni dan tiga temannya yang sudah bekerja selama sembilan tahun jelas menunjukkan relasi kuasa majikan terhadap PRT. "Terdakwa sebagai majikan menganggap bisa memperlakukan apa saja terhadap PRT termasuk memperbudak. Ani dan kawan-kawannya mengalami penyekapan, penyiksaan dan tidak dibayar," ucap dia.
Eksepsi yang disampaikan penasihat hukum terdakwa juga tidak sesuai dengan kronologis kejadian dan aktivitas terdakwa sehari-hari. Menurut Lita, kronologis kejadian menunjukkan terdakwa dalam kondisi sehat baik fisik maupun psikis.
"Terdakwa juga dapat beraktivitas seperti biasa termasuk aktivitas publik dan menjalani pekerjaannya," ujarnya.
Karena itu, Jala PRT mendesak majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur tetap berpegang pada fakta bahwa terdakwa secara sadar telah melanggar Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Pencegahan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
"Jala PRT mendesak majelis hakim menjatuhkan hukuman seberat-beratnya kepada terdakwa demi keadilan dan mencegah munculnya korban-korban baru," katanya.