REPUBLIKA.CO.ID, BEKASI -- Warga empat kelurahan di sekitar Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang, Kota Bekasi, Jawa Barat melakukan aksi unjuk rasa terkait pengelolaan TPST Bantargebang. Mereka menyatakan penolakan terhadap pengelolaan TPST Bantargebang secara swakelola.
Dua buah spanduk besar terentang menutup pintu masuk lokasi penimbangan TPST Bantargebang. Tertulis di sana, "Kami warga Kelurahan Sumur Batu, Kelurahan Cikiwul, Kelurahan Ciketing Udik, Kecamatan Bantargebang Kota Bekasi menolak pengelolaan TPST Bantargebang secara swakelola. Harga mati!!"
Warga juga menempelkan stiker serupa di badan-badan truk sampah asal DKI Jakarta. Massa berjumlah sekitar 500 orang dari Kelurahan Bantargebang, Kelurahan Sumur Batu, Kelurahan Cikiwul, dan Kelurahan Ciketing Udik. Akibat aksi ini, truk sampah dari DKI Jakarta tidak bisa masuk ke TPST Bantargebang mulai pukul 11.00 siang. Warga menutup akses ke lokasi penimbangan sampah.
Salah satu warga Kelurahan Ciketing Udik, Kec Bantargebang, Gunin alias Cempa (42 tahun), mengatakan aksi ini merupakan tindak lanjut dari Surat Peringatan (SP) 3 yang dikeluarkan Pemprov DKI Jakarta kepada pengelola TPST Bantargebang, PT Godang Tua Jaya.
"Tindak lanjut dari SP 3 berkaitan dengan kami masyarakat di sini. SP 3 itu pengaruhnya adalah besok lusa sudah barang tentu pengelolaan sampah akan dilakukan oleh DKI Jakarta atau swakelola," kata Gunin, kepada Republika, Rabu (22/6).
Gunin menyatakan, masyarakat sudah bertahun-tahun merasakan dampak swakelola Pemprov DKI Jakarta di TPST Bantargebang. Swakelola oleh Pemprov DKI Jakarta terbukti amburadul. Sampah dibiarkan menggunung tinggi tanpa pengelolaan memadai.
Pemerintah juga tidak peduli dengan masyarakat sekitar TPST. Padahal, kata Gunin, pemerintah seharusnya wajib mengeluarkan dana kompensasi kepada masyarakat baik yang terkena dampak langsung maupun tidak langsung.