Ahad 19 Jun 2016 04:25 WIB

Abu Jahal Modern, Media Binal dan Dagelan Warteg

Red: M Akbar
ilustrasi hasutan
Foto:

Merampok kekayaan alam, menebar dusta demi dusta, janji demi janji, menggasak kekayaan negara, memanipulasi keadilan hukum, memiskinkan rakyat, dan kekejian sejenisnya. Barangkali koruptor, penguasa lalim dan lingkarannya bisa disematkan oleh rakyat sebagai sosok yang kedengkian dan kekejamannya seolah Abu Jahal. Bahkan, lebih keji. 

Dalam analogi lain, ada pula Abu Jahal intelektual. Perannya sama, beda tekniknya. Sama-sama menyebarkan kebencian pada Islam dan kebenaran, memutar balik fakta, memfitnah, memprovokasi, mengadu domba. Mereka bukan lagi personal. Tapi berkelompok. Bergerak sistemik dengan kekuatan modal yang besar.

Kebencian pada Islam dan standar gandanya disebar bukan dari mulut. Melainkan dari media-media corong penguasa. Saya mengistilahkannya sebagai media binal. Kenapa binal? Menurut situs resmi KBBI, binal berarti liar.

Bisa juga diartikan sebagai bengal akibat kurang perhatian. Selalu hendak lari dan sebagainya. Sejak reformasi, sampai puncaknya Pilgub DKI 2012 dan Pilpres 2014, media-media di Indonesia jauh dari kata sehat. Bendera setengah tiang menyelimuti insan Pers Indonesia. 

Media saat ini bukan lagi sebagai watch dog atau anjing pengawas. Melainkan seperti berperan sebagai guard dog (anjing penjaga), lap dog (anjing penjilat), circus dog (anjing sirkus),  stupid dog (anjing bodoh).

Pers sehat pasti mengambil posisi sebagai watch dog. Sedangkan empat kategori lain sudah masuk kategori pembantu pemerintah. Sejak pers perjuangan beralih jadi pers industri, rakyat seolah semakin diracuni.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement