REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) meminta pemerintah Indonesia agar tidak melakukan ratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) atau Konvensi mengenai Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau dengan mempertimbangkan keberlangsungan industri hasil tembakau (IHT) nasional.
Ketua Umum APTI, Soeseno, menyatakan, penerapan FCTC akan memberatkan petani, tenaga kerja dan pedagang yang menggantungkan hidup dari industri hasil tembakau. Salah satunya, dalam pedoman FCTC pada pasal 17-18 menyebutkan pembatasan lahan dan penentuan musim penanaman tembakau, serta mendorong untuk menggantikan tembakau dengan tanaman lain. Padahal, menurutnya, di wilayah seperti Madura sangat cocok ditanami tembakau, hasil tembakau memiliki warna dan aroma yang bagus.
''Kalau pemerintah menyetujui nanti menjadi pedoman, alih konversi di tanah kering jangan ditanami tembakau tapi tanaman alternatif musim kering, kita tidak setuju. Misalnya di Madura, ditanami jagung hasilnya kecil-kecil,'' kata Soeseno di sela-sela acara buka puasa bersama media di Surabaya, Kamis (16/6).
Selain itu, dalam pedoman FCTC pasal 5.3 menyebutkan pelarangan berinteraksi antara pemerintah dan pemangku kepentingan industri hasil tembakau. Padahal, saat ini ada dana hasil cukai tembakau yang diberikan kepada petani. ''Petani di Indonesia masih memerlukan tangan pemerintah untuk bantuan,'' imbuhnya.
Ia meminta pemerintah berkaca pada pengalaman negara-negara lain yang telah terlebih dahulu mengadopsi FCTC. Menurutnya, negara-negara tersebut kerap ditekan untuk menerapkan aturan yang bersumber pada pedoman FCTC, seperti kemasan polos, pelarangan penggunaan cengkeh dalam rokok, dan konversi tanaman tembakau. Ia menilai pedoman tersebut terlalu ekstrem.
''Aturan-aturan tersebut akan menimbulkan gejolak di masyarakat serta mematikan IHT nasional dan jutaan orang yang mendapatkan nafkah dari industri ini,'' ujarnya.
Ketua Umum Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI), Budidoyo, mengatakan, FCTC tidak bisa dilihat dari satu sisi, melainkan juga dilihat dari aspek industri. ''Ada enam juta lebih tenaga kerja yang terlibat di sektor IHT. Oleh karena itu, pemerintah perlu menjaga eksistensi IHT dan konsisten menjaga pendapatan negara melalui kebijakan yang berimbang,'' ungkapnya.
Budidoyo menyebutkan, Indonesia telah memiliki peraturan pengendalian produk tembakau melalui Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif berupa produk tembakau bagi kesehatan.
''PP ini telah mengadopsi sebagian besar pasal-pasal dalam panduan FCTC, di samping beberapa peraturan menteri juga telah diberlakuakn untuk mengawasi dan mengendalikan dampak rokok, terutama bagi kesehatan masyarakat,'' ucap Budidoyo.
FCTC diluncurkan pada tahun 2005 oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebagai agenda global pengendalian produk tembakau. Di dalamnya memuat peraturan-peraturan terkait batas usia minimum, iklan, kegiatan sponsor dan promosi, bahan kandungan, pembatasan merokok di tempat umum, serta peringatan kesehatan.
Saat ini, 180 negara telah menandatangani FCTC. Indonesia bersama dengan beberapa negara besar seperti Amerika Serikat dan Switzerland menandatangi namun tidak melakukan aksesi terhadap FCTC.