REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Firman Soebagyo, geram terhadap kelompok antitembakau yang secara sistemik membuat gerakan untuk mematikan industri pertembakauan nasional. Dengan dalih hasil riset, kampanye negatif itu kemudian dipublikasikan massif di media seperti terjadi beberapa hari ini.
Firman berpendapat, gerakan antitembakau diskriminatif, masif dan tidak objektif. Karena itu Firman menegaskan, apa yang dilakukan kelompok antitembakau yang notabene disponsori dana-dana asing, sudah pada taraf meresahkan petani dan industri. "Mereka selalu negatif dan tidak mau melihat dari sisi lain," tegas Firman dalam keterangannya, Rabu (8/3).
Sikap tidak proporsional dan negatif itu seperti tudingan seakan perokok membebani program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sehingga tidak boleh mendapat fasilitas JKN. Sikap itu, jelas saja membuktikan kelompok antitembakau tidak paham undang-undang bahwa JKN bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar kesehatan masyarakat yang layak. JKN diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar Pemerintah.
Peserta JKN, termasuk perokok, berhak mendapat layanan kesehatan JKN, bukan sebagai beban, sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional pada Pasal 16 yang berbunyi, “Setiap peserta berhak memperoleh manfaat dan informasi tentang pelaksanaan program jaminan sosial yang diikuti”.
Kemudian, jaminan itu juga tercantum di Pasal 20 yang berbunyi: (1) Peserta jaminan kesehatan adalah setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh Pemerintah; (2) Anggota keluarga peserta berhak menerima manfaat jaminan kesehatan. Rokok juga tidak bisa dikatakan menjadi fakor utama munculnya penyakit seperti paru, stroke, impotensi, jantung, kanker, dan bronchitis. Penyebab penyakit terjadi oleh sebab kompleksitas sistem tubuh dan kondisi antar individu unik. Artinya banyak faktor lain.
Firman menegaskan, tembakau memiliki kontribusi besar terhadap penerimaan negara dari cukai rokok yang hampir mencapai Rp 150 triliun per tahun. Belum lagi dari sisi pajak yang nilainya juga mencapai triliunan.
Ia minta, publik jangan terkecoh dengan pemberitaan di media tertentu yang secara jelas dan terang benderang mereka adalah bagian dari gerakan mematikan industri pertembakauan nasional. "Ada strategi menghancurkan tembakau secara sistemik. Kolaborasi ilmuwan kesehatan, LSM, media, dan elite, yang sudah tidak proporsional dengan target menghancurkan industri nasional, dan mereka bagian dari kepentingan asing," ucap Firman.
Apa yang dilakukan kelompok antitembakau, kata dia, sejatinya ditunggangi kepentingan dagang dalam hal ini industri farmasi. Kalau kemudian rokok kretek mati, maka rokok asing, akan mudah masuk. Industri farmasi juga memainkan isu bahaya berlebihan nikotin agar kretek dibenci untuk kemudian diganti dengan rokok putih yang sekarang dikuasi Philip Morris. Atau, diganti dengan rokok sintesis yang notabene dibuat farmasi.
Belum lagi, mekanisasi yang dilakukan korporasi asing setelah masuk ke Indonesia, pada akhirnya, kemudian membuat jutaan tenaga kerja di industri tembakau nasional menjadi pengangguran karena produksi digantikan mesin semua. Jika itu terjadi, negara kehilangan cukai Rp 150 triliun per tahun dan jutaan pekerja menjadi pengangguran.
"Ujungnya negara akan defisit, dan paling pahit dipaksa untuk utang , Indonesia dibuat ketergantungan," tandasnya.
Industri tembakau, merujuk data Kementerian Perindustrian melibatkan tenaga kerja hingga 6,1 juta orang. Kretek juga telah menjadi sejarah dan budaya masyarakat. Firman mengkritik berbagai lembaga dan LSM yang terang-terangan dibiayai asing untuk membunuh tembakau. Sangat ironi, meski KTP Indonesia, mereka tidak perduli dengan jutaan petani, kontribusi ekonomi, hingga dampak positif lain tembakau dan hanya melihat satu sudut pandang.
"Mindset mereka sudah terbawa kepentingan transaksi, dengan dalih riset penelitian tapi memojokkan. Justru dana risetnya dari Bloomberg. Lebih ironi lagi, mereka ini tidak pernah mau ke lapangan dan melihat realitas industri dan petani," tegasnya.
Ia mengaku heran, meski industri tembakau memberi kontribusi ekonomi di tengah perlambatan ekonomi dan di tengah sulitnya mencari pekerjaan, namun ketika industri menyediakan tenaga kerja malah dihajar digebuk dengan tidak fair. Kata Firman, dana Bloomberg untuk proyek antitembakau sudah mengucur ke mana-mana. Belum lagi dana transfer industri farmasi dari komisi resep obat itu mengalir ratusan miliar rupiah.
Temuan positif tembakau seperti dihasilkan Prof Sutiman Bambang Sumitro MS DSc, guru besar Universitas Brawijaya (UB), yang menemukan Divine cigarette sehingga mampu menjinakkan radikal bebas, juga tidak diendorse karena berbeda kepentingan dengan industri farmasi. "Setiap konsumsi berlebihan, apapun itu, tidak melulu tembakau, pasti merusak. Namun, mereka tidak pernah mau tahu. Tidak ada riset bahaya asap polusi kendaraan, bahaya junk food, karena tidak ada modali, bandari, berbeda dengan tembakau. Saya mengecam jika hanya melihat tembakau dari satu sisi," ucap Firman.
Dalam setiap pengambilan keputusan terkait tembakau, kata dia, harus ada pertimbangan rasional. Suka atau tidak, industri tembakau memberi kontribusi ekonomi besar mencapai Rp 157 triliun per tahun dari sisi cukai saja. “Kalau itu dimatikan hanya karena desakan golongan anti tembakau jelas tidak fair. Tembakau bukan penyebab penyakit hingga menyebabkan kematian. Ingat, pabrik senjata juga menimbulkan kematian, kenapa tidak minta Amerika atau Rusia menutup pabrik senjata mereka,” tegas Firman.
Ia mengingatkan, salah satu alasan penjajah datang karena tembakau lokal Indonesia yang kemudian dibawa ke Belanda untuk dijadikan bahan cerutu. Nah, seharusnya, tembakau sebagai karunia Tuhan di sektor pertanian dilindungi dan tidak bisa diabaikan begitu saja di tengah perlambatan ekonomi dan defisit anggaran mencapai Rp 300 triliun.
Di tempat terpisah, Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Ade Irawan mengatakan pembahasan Rancangan Undang-Undang Pertembakauan usulan inisiatif DPR yang saat ini sudah diserahkan kepada pemerintah, perlu diawasi. "Tidak cukup hanya diawasi. Kementerian/lembaga yang terkait dengan pembahasan RUU Pertembakauan juga harus terbuka. Yang perlu diwaspadai adalah konflik kepentingan antara politisi dengan industri tembakau," kata Ade, Senin (6/3) kemarin.
Ade mengatakan pemerintah harus maksimal dalam membuat batasan untuk rokok dan tembakau agar tidak menimbulkan dampak ekonomi dan dampak lainnya.
Menurut Ade, produk industri tembakau berbeda dengan industri lain karena produknya berbahaya bagi kesehatan. Karena itu, perlu ada pembatasan melalui regulasi.
"Rokok jelas lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya," ujarnya.
Ade mengatakan gejala ketidakberesan dalam RUU Pertembakauan sangat jelas sejak pembahasan di DPR. Salah satunya adalah kunjungan kerja anggota DPR terkait RUU Pertembakauan yang tidak dianggarkan sebelumnya.
"Bagaimana mungkin ada kunjungan kerja yang belum dianggarkan. Penyusunan naskah RUU Pertembakauan juga banyak melanggar tata tertib DPR sendiri. Melihat gejala-gejala tersebut, maka pembahasan RUU Pertembakauan perlu diawasi," tuturnya.