REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo memastikan tidak ada peraturan daerah bernuansa syariat Islam yang masuk dalam deregulasi 3.143 buah perda yang dilakukan pemerintah pusat saat ini.
Semua peraturan yang dibatalkan tersebut hanya terkait investasi, retribusi, pelayanan birokrasi, dan masalah perizinan, seperti diinformasikan Puspen Kemendagri melalui laman Kementerian tersebut, Rabu (15/6).
"Siapa yang hapus. Tidak ada yang hapus," kata Mendagri Tjahjo di kantor Kemendagri, Jakarta, Rabu, dikutip dari laman Kementerian Dalam Negeri.
Menurut Mendagri, sebelum perda-perda yang cenderung intoleran atau diskriminatif serta berpotensi menimbulkan keresahan masyarakat didalami, pihaknya akan mengundang organisasi keagamaan untuk menyelaraskan regulasi itu, apalagi bagi daerah otonomi khusus. "Misalnya, Aceh mau terapkan syariat Islam di daerahnya, itu boleh. Namun penerapan di sana, mau diterapkan juga di Jakarta, tentu tidak bisa," ujar dia.
Tjahjo menambahkan, pemerintah mengikuti pertimbangan dan fatwa dari organisasi keagamaan seperti MUI. Karena itu, dalam melakukan evaluasi dan pendalaman perda bermasalah yang bernuansa Islam tentu ada klarifikasi serta penyelarasan dengan tokoh agama.
Ia juga berjanji akan mempublikasikan ribuan perda tersebut. Berdasarkan data yang ia peroleh, ada 2.227 perda provinsi yang dibatalkan Kemendagri, lalu 306 perda yang secara mandiri dicabut Kemendagri, serta 610 perda kabupaten/kota yang dibatalkan pemerintah provinsi masing-masing.
"Ini semua soal investasi. Kami tidak mengurusi perda yang bernuansa syariat Islam. Ini untuk mengamankan paket kebijakan ekonomi pemerintah," kata Tjahjo
Permasalahan perda ini, katanya, faktanya semakin diputarbalikan. Ia mengaku menerima ratusan SMS yang diterima ke telepon selulernya terkait penolakan pembatalan perda bernuansa syariat Islam.
Ia menganggap semua itu hanya tudingan belaka, karena tidak ada niat untuk mencabut perda itu.
Seperti halnya kemarin saat Kemendagri ingin mengkaji Perda Kota Serang Nomor 2 Tahun 2010 tentang Pencegahan, Pemberantasan dan Penanggulangan Penyakit Masyarakat dengan mengundang Pemerintah Kota Serang, beserta Wali Kota Tubagus Haerul Jaman. "Perda itu memang menjadi kewenangan kepala daerah. Kami tak membatalkan perda tersebut, namun hanya menguatkan ketentuannya saja, apalagi terkait SOP Satpol PP," ujar dia.
Mendagri mengatakan, dalam proses penertiban itu ada tahapannya, seperti imbauan dan penyuluhan terlebih dahulu, bukan langsung represif dengan menyita makanan pemilik warung yang berjualan di siang hari saat Ramadhan. Dia mengingatkan, jangan sampai ada instruksi perda seperti itu.
"Selama ini kan aman-aman saja. Perda itu harusnya memastikan agar orang yang tak berpuasa hormati mereka yang puasa. Tegaskan soal pembatasan saja, bukan menyita makanan dan menimbulkan heboh di masyarakat," kata Tjahjo.
Masalahnya, kata dia, tidak semua perda itu mendapat asistensi dari pemerintah pusat dalam proses penyusunannya. Dalam Undang Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemda, ada 6 jenis perda yang sebelum disahkan dan berlaku di daerah harus mendapat persetujuan dari pemerintah pusat.
Keenam peraturan itu terkait rancangan perda APBD, tata ruang, pajak daerah, retribusi daerah, Rencana Pembangunan Jangka Menengah dan Panjang Daerah (RPJMD dan RPJPD). Selain itu, menurutnya, peraturan kepala daerah lainnya juga tak pernah ada yang dilaporkan ke pusat.
"Ada sejumlah perda yang baru ketahuan bermasalah setelah ada kasus seperti ini," ujar Mendagri.