Selasa 31 May 2016 06:07 WIB

Jokowi Diharapkan Lebih Bijak Lihat Isu Tembakau

  Seorang warga menjemur tembakau di Desa Ngerong, Kab. Magetan, Jatim.
Seorang warga menjemur tembakau di Desa Ngerong, Kab. Magetan, Jatim.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) mengirim surat kepada Presiden Jokowi yang berisi semakin gencarnya pemberitaan dan propaganda negatif dan provokatif oleh kelompok antitembakau tentang industri hasil tembakau. Padahal, Gappri mengatakan, kontribusi ekonomi dari tembakau sekitar Rp 150 triliun per tahun dari pajak dan cukai.

 

"Kelompok upahan ini sejatinya sudah lama memprovokasi lembaga resmi pemerintah baik Legislatif maupun Eksekutif. Akibatnya terbit kebijakan-kebijakan yang tidak rasional lagi. Undang Undang dan Peraturan Menteri sampai ke tingkat Pemerintahan Daerah secara sistemik membahayakan kekuatan ekonomi NKRI melalui Industri Hasil Tembakau," ujar Ketua Gappri, Ismanu Soemiran, seperti tertuang dalam surat yang dikirimkan ke Presiden Jokowi, Selasa (31/5). Surat itu dikirim Gappri menanggapi Peringatan Hari Tanpa Tembakau Sedunia yang digelar setiap 31 Mei.

Ismanu, dalam surat itu, mengingatkan Presiden Jokowi, proxy war yang dilakukan kelompok antitembakau, terlihat dari target mereka yang memaksakan kehendak agar Indonesia meratifikasi dan mengaksesi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), produk hukum yang 100 persen buatan asing.

Ia mengklaim sudah banyak ahli yang menyatakan, bila kita mengaksesi FCTC, maka sepenuhnya IHT yang mampu memberikan pendapatan bagi pemerintah ratusan triliun akan dikendalikan asing melalui badan dunia bernama World Health Organisation.

Padahal, banyak berita yang menyatakan, WHO tidak sepenuhnya netral setelah mereka terlilit masalah keuangan.

 

"Kami melihat, kegiatan kelompok antitembakau yang mengaitkan IHT dengan peraturan kesehatan sangat tidak relevan. Pengenaan cukai tembakau menegaskan bahwa IHT sudah sepenuhnya di bawah kontrol pemerintah," kata Ismanu menegaskan.

Menurut dia berlebihan jika mengaitkan IHT dengan kesehatan. Padahal dampak kesehatan yang disebabkan asap knalpot di jalan raya tentu lebih membahayakan dari pada asap rokok.

Banyak hal lain yang berkaitan dengan kesehatan justru diabaikan kelompok antitembakau ini, seperti makanan berformalin, makanan cepat saji, dan masih banyak lagi, yang justru banyak dikonsumsi anak-anak kita yang berusia dini.

"Apa sebabnya? Kami menduga, karena tidak ada pihak yang mengupah untuk kampanye kesehatan yang mendasar seperti itu," ucap dia.

Ia berkata, mengaitkan IHT dengan peraturan kesehatan, membuat negara tidak berdiri di tengah dengan bersikap adil dalam melindungi warga bangsanya yang berusaha dan bekerja di sektor ekonomi yang sah. Gappri memandang, saat ini terjadi kerancuan program dan kebijakan yang membingungkan karena pelarangan kawasan tanpa rokok yang terkesan dibuat-buat, dan banyak bertentangan dengan asas peraturan yang di atasnya (lex superior derogat legi inferiori).

"Bapak Presiden Jokowi yang bijaksana. Kami memohon, Bapak Presiden berkenan memandang lebih arif dan jeli terhadap kampanye hitam kelompok antitembakau yang mendesak Pemerintah  Indonesia meratifikasi dan aksesi FCTC. Karena begitu kita meratifikasi produk Hukum Internasional itu, kita kehilangan kedaulatan atas industri rokok nasional," ucap dia.

Kalau dicermati lebih dalam, ia berkata, isi FCTC itu tak lebih dan tak kurang adalah siasat dagang mutakhir rezim ekonomi kapitalis. Dengan mendompleng regulasi, mereka bisa berjualan dengan harga setinggi-tingginya dengan keuntungan sebesar-besar karena biaya promosi telah diambil alih melalui aturan yang digulirkan pemerintah sendiri.

"Apa yang kami haturkan ini tidak berlebihan. Sebab industri farmasi multinasional telah menemukan nikotin sintetis dan tembakau sintetis," ucap dia.

"Faktanya," kata dia melanjutkan, "saat ini sudah beredar rokok yang disebut rokok elektrik dengan teknologi tinggi, yang mana industri lokal tidak mampu memproduksinya," ujar Ismanu.

Gappri berharap Presiden Jokowi mengatur dengan bijak dan adil demi untuk menjaga kedamaian, kesejahteraan, kemakmuran, kejayaan, dan keutuhan lahir dan batin Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tanpa perlu diatur-atur pihak asing.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement