Jumat 27 May 2016 15:55 WIB

Banyak Hakim Ditangkap KPK, JK: Menyedihkan Benteng Hukum Jebol

Rep: Dessy Suciati Saputri/ Red: Bayu Hermawan
Wakil Presiden Jusuf Kalla (kanan) didampingi Menteri Perdagangan Thomas Lembong (kiri) memberikan keterangan kepada wartawan usai pertemuan bilateral saat KTT LB Ke-5 OKI mengenai Palestina dan Al-Quds Al-Sharif di JCC, Jakarta, Senin (7/3).
Foto: Antara/Wisnu Widiantoro
Wakil Presiden Jusuf Kalla (kanan) didampingi Menteri Perdagangan Thomas Lembong (kiri) memberikan keterangan kepada wartawan usai pertemuan bilateral saat KTT LB Ke-5 OKI mengenai Palestina dan Al-Quds Al-Sharif di JCC, Jakarta, Senin (7/3).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menangkap oknum hakim dalam kasus suap penanganan perkara korupsi. Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menilai untuk mencegah banyaknya pejabat peradilan yang terlibat korupsi, maka diperlukan reformasi di bidang peradilan.

"Karena itulah maka reformasi, tindakan yang tepat kepada penegak hukum, sama juga dengan tindakan kepada pejabat lainnya. Kadang-kadang lebih tinggi. Itu terjadi. Makanya, efektif ya reformasi di bidang peradilan itu," jelasnya, di Istana Wakil Presiden, Jakarta, Jumat (27/5).

JK melanjutkan, pengawasan terhadap lembaga hukum pun perlu lebih diperkuat. Selain itu, juga diperlukan keterbukaan dari masyarakat. Sebab, ia menilai selama ini masyarakat juga berperan dalam terjadinya kasus korupsi.

"Pengawasannya harus kuat dan lebih baik lagi keterbukaan masyarakat. Yang bikin kan masyarakat juga kan, yang ingin cepat dan dikurangi dia punya hukuman. Jadi masyarakat harus terbuka juga untuk tidak (mencoba melakukan suap)," katanya.

JK juga menyayangkan semakin banyaknya kasus korupsi yang menyeret pejabat-pejabat dari lembaga peradilan. "Ya, tentu menyedihkan memang kalau benteng hukum itu jebol juga," ucapnya.

Namun, ia menilai tak diperlukan penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) untuk memperberat oknum peradilan yang terjerat kasus korupsi. Sebab, Indonesia telah memiliki undang-undang hukum pidana.

"Jadi hakim tuh menentukan bobot kesalahannya berdasarkan hukum itu, ada maksimumnya. Kan selama ini tidak semua juga maksimum, ada minimum. Maka empat tahun sampai 12 tahun contohnya kalau melanggar pasal tipikor. Jadi, ada yang empat. Kalau memang agak berat, enam. Itu tergantung penilaian hakim, tidak perlu pakai perppu," jelasnya.

Sebelumnya, KPK juga menilai masih banyak perangkat peradilan yang terlibat dalam kasus korupsi. Karena itu, Ketua KPK Agus Rahardjo menyarankan agar DPR dan presiden membahas bersama untuk melakukan reformasi di tubuh Mahkamah Agung (MA).

Menurut dia, seharusnya tidak ada lagi perangkat peradilan yang terlibat dalam kasus korupsi jika dilihat dari sisi gaji yang diberikan. Karena itu, proses rekrutmen hakim dan penanganan perkara perlu dipertimbangkan kembali dan seharusnya dilakukan lebih transparan.

Seperti diberitakan sebelumnya, dalam catatan Komisi Yudisial (KY), sejak bulan Januari 2016, sampai dengan hari ini sudah sekitar 11 aparat pengadilan yang terbelit kasus korupsi.

Ke-11 perangkat pengadilan tersebut terdiri atas tiga pejabat pengadilan dan delapan Hakim. Itu pun baru yang diketahui karena kasusnya muncul ke publik atau media, belum kasus-kasus yang tidak terjangkau publikasi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement