Sabtu 23 Apr 2016 21:00 WIB

DPR: UU Pilkada Jadi Salah Satu Produk Hukum Terburuk

Rep: c36/ Red: Bilal Ramadhan
 Peserta aksi dari Komunitas Gerbong Bawah Tanah melakukan teaterikal menggambarkan pejabat yang menidurkan hak politik rakyat pada aksi menolak UU Pilkada, di depan Gedung Sate, Kota Bandung, Rabu (1/10).(Republika/Edi Yusuf).
Foto: Republika/Edi Yusuf
Peserta aksi dari Komunitas Gerbong Bawah Tanah melakukan teaterikal menggambarkan pejabat yang menidurkan hak politik rakyat pada aksi menolak UU Pilkada, di depan Gedung Sate, Kota Bandung, Rabu (1/10).(Republika/Edi Yusuf).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi II DPR, Arteri Dahlan, mengakui jika UU Pilkada merupakan salah satu produk hukum terburuk yang pernah dibuat pihaknya. Revisi UU Pilkada kali ini ditargetkan mampu menutupi kekurangan UU Nomor 8 Tahun 2015 tersebut.

"Kami akui itu jadi salah satu produk hukum terburuk. Sebab, pada dasarnya aturan itu dibuat untuk pemilihan tidak langsung. Ketika kami mengubah menjadi aturan untuk pemilihan langsung memang mengalami kesulitan," ungkap Arteri kepada awak media di Jakarta, Sabtu (23/4).

Salah satu contoh kekurangan dalam UU Pilkada adalah belum adanya aturan tegas untuk menindak temuan politik uang. Karena itu, DPR berkomitmen membahas sejumlah poin dalam revisi UU Pilkada yang dijadwalkan selesai pada 29 April pekan depan.

Beberapa poin yang dibahas DPR antara lain aturan tentang calon petahana, calon tunggal dalam pilkada, aturan bagi anggota TNI dan Polri yang ingin mencalonkan dalam Pilkada serta penanganan sengketa Pilkada.

Meski memastikan hasil revisi UU Pilkada dapat memberbaiki kekurangan yang ada sebelumnya, Arteri menyatakan revisi tetap merujuk kepada UU Nomor 15 Tahun 2011 mengenai penyelenggara pemilu.

"Ada penguatan untuk KPU dan Bawaslu.Tidak mungkin merevisi UU Pilkada tanpa mempertimbangkan peran penyelenggara," tutur dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement