REPUBLIKA.CO.ID, SUMBA --- Tim eksplorasi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indnesia (LIPI) berencana mengeksplorasi keunikan eksositem dan tradisi yang ada di Sumba melalui program Ekspedisi Widya Nusantara 2016 (E-Win). E-Win akan dilaksanakan dari 15 April sampai dengan 4 Mei dengan melibatkan 33 orang peneliti dari Kedeputian Ilmu Pengetahuan Hayati (IPH).
Kordinator ekspedisi Andria Agusta dalam rilis tertulis yang diterima Republika, Kamis (14/4), mengatakan, tujuan dari eksplorasi tersebut adalah mengungkap kekayaan tetumbuhan, binatang, mikroba, dan pengetahuan masyarakat. Menurutnya, Pulau Sumba menarik secara geologi, ekosistem, dan tradisi masyarakatnya.
Di sela-sela koordinasi dengan Kepala Taman Nasional Laiwanggi Wanggameti, Andria mengatakan, dia sengaja datang lebih dulu untuk menyiapkan kedatangan tim dan berkordinasi dengan pemerintah setempat dan menggali data awal sebagai bahan pertimbangan eksplorasi.
Menurutnya, Pulau Sumba merupakan pulau yang kemungkinan sudah pisah dari daratan ketika daratan masih satu. Pisahnya daratan yang kemudian menjadi Pulau Sumba ketika itu masih berada di dalam air. Dari sejak pecah, yakni sebelum zaman Pangaea, Pulau Sumba selalu bergerak. Posisinya yang sekarang bukan posisi ketika pulau tersebut pisah dan pertama muncul dari laut.
“Dengan kondisi yang demikian maka Pulau Sumba diduga memiliki keanekaragaman hayati yang unik dan berbeda dengan kawasan lainnya,” katanya.
Secara umum, kawasan yang berada di Indonesia memiliki temperatur yang hampir sama sepanjang tahun. Musim yang dikenal pun hanya musim hujan dan musim kering. Akan tetapi, di Pulau Sumba dan daerah NTT secara umum, seolah-olah terdapat empat musim. Pada bulan Juli dan Agustus temperatur di Pulau Sumba bisa turun sampai 10-15 derajat Celcius dan pada puncak musim panas temperatur akan naik sampai 35 derajat Celcius.
Perbedaan temperatur yang signifikan tersebut juga berpengaruh terhadap metabolisme di dalam jaringan organisme hidup, terutama tumbuhan dan mikroorganisme yang ada di kawasan ini. Sebagai contoh, di daerah Pulau Tmor terdapat perkebunan jeruk (Citrus sp) yang menghasilkan buah berwarna jingga (orange) yang merupakan akumulasi dari dua senyawa karotenoid kriptosantin dan sitraurin. Kedua senyawa kimia berwarna ini hanya akan terbentuk jika temperatur turun sampai 18 derajat Celcius.
Perbedaan temperatur yang relatif ekstrim ini, ditambah dengan kondisi kering di pulau Sumba, akan berdampak pada keunikan dan spesifikasi jalur metabolisme senyawa bioaktif pada tumbuhan dan mikroorganisme yang ada di pulau Sumba dan sangat jarang kita temukan di kawasan lainnya di Indonesia.
Secara topografi, kondisi pulau ini bergelombang dan dipenuhi rerumputan. Walaupun demikian, di antara gelombang daratan terdapat cekungan-cekungan yang dipenuhi oleh pohon-pohon untuk membentuk plot-plot hutan.
Menurut kordinator lapangan eksplorasi Oscar Efendy, di cekungan tersebut bisa jadi ada relik species, yaitu satu jenis tumbuhan, mikroba, ataupun hewan yang bertahan hidup dari zaman Pangaeae sampai sekarang.
Menemukan relic species, kata Oscar, ibarat menemukan dinosaurus yang masih hidup di zaman sekarang.
“Hal ini bukan mustahil karena cekungan-cekungan yang ada di Pulau Sumba banyak di antaranya yang tidak terjamah manusia,” kata Oscar.
Kepala Taman Nasional Laiwanggi Wanggameti Hart Lamer Susetyo mengaku senang dan mendukung penuh rencana LIPI. Menurut Susetyo, berdasarkan pengalamannya, pihak yang tertarik dengan Sumba selama ini adalah orang-orang asing. Mereka meneliti dan mencoba mengambil keanekaragaman hayati yang ada di Sumba.
“Saya bersyukur akhirnya ada peneliti dari LIPI yang menggali kekayaan Pulau Sumba,” katanya.