REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Siyono (34 tahun) meninggal dunia pascapenangkapan yang dilakukan oleh Detasemen Khusus Antiteror 88 (Densus 88) Polri. Warga Desa Pogung, Kecamatan Cawas, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, itu diduga kuat tewas lantaran dianiaya oleh oknum personel Densus 88.
Pakar hukum pidana Universitas Indonesia (UI), Achyar Salmi menilai, insiden tersebut harus menjadi bahan evaluasi terhadap pasukan antiteror tersebut. Densus pun diminta untuk lebih hati-hati dalam menangani dan menindak terduga teroris.
Terlebih, jika belum ada putusan hukum terkait status dari terduga teroris tersebut. "Jadi perlu juga, pada masa mendatang perlu ada kehati-hatian dalam memproses. Jangan sampai ada orang yang belum terbukti bersalah mengalami hukuman dan menjadi korban," ujar Achyar saat dihubungi, Selasa (12/4).
Sementara terkait kemungkinan adanya proses hukum terhadap pelaku penganiayaan Siyono, Achyar mengungkapkan, hal itu bisa dilakukan apabila pihak keluarga merasa keberatan dengan apa yang dilakukan Densus 88. Nantinya, akan dilihat apakah personel Densus 88 melaksanakan pelanggaran Standar Operating Procedure (SOP) dalam penindakan dan penanganan Siyono, sebagai terduga teroris.
"Ini yang nanti diuji. Pendekatan hukum antara terorisme kan berbeda dengan yang biasa. Maka nanti akan dilihat apakah ada kesalahan prosedur yang dilakukan oleh Densus 88," ujarnya.
Sebelumnya, tim advokasi kematian Siyono, yang terdiri dari PP Muhamadiyah, Komnas HAM, LSM Kontras, dan Pusham UII melakukan autopsi independen terhadap jenazah Siyono. Alhasil, berdasarkan autopsi independen tersebut, Sinoyo mengalami luka fatal di bagian tulang rusuk. Hal ini berbeda dengan hasil autopsi pihak kepolisian, yang menyebut Siyono tewas lantaran ada pendarahan di kepala.