REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jelang pelaksanaan Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Partai Golkar, awal Mei mendatang, Steering Comitte (SC) Munaslub Golkar bakal membentuk sejumlah komite, salah satunya adalah komite etik. Komite etik ini diharapkan bisa meminimalisasi praktik politik uang di gelaran Munaslub Partai Golkar.
Namun, pakar politik Universitas Gadjah Mada (UGM), Mada Sukmajati, mengingatkan, komite etik itu harus mendapatkan trust dari anggota Golkar di kedua kubu, baik kubu kepengurusan hasil Munas Bali ataupun kubu kepengurusan hasil Munas Jakarta. Untuk itu, pemilihan anggota komite etik ini pun menjadi fondasi dasar dalam upaya mendapatkan kepercayaan dari kader Golkar, atau bahkan dari masyarakat luas.
"Kalau komite etik itu tidak mempunyai trust, maka Munaslub itu akan sangat penuh ketidakpercayaan, dan hasilnya nanti akan ada delegitimasi dan masalah di internal Golkar tidak akan selesai-selesai," tutur Mada kepada Republika melalui sambungan telepon, Senin (11/4).
Pengajar Ilmu Politik di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM itu menyarankan, komite etik Munaslub Golkar dapat diisi oleh tokoh-tokoh senior Partai Golkar. Bahkan, jika Partai Golkar memiliki keberanian, lanjut Mada, maka bukan tidak mungkin ada anggota dari eksternal Partai Golkar yang bisa duduk di komite etik tersebut. Hal ini terkait dengan integritas dan netralitas dari komite etik tersebut.
"Asal itu bisa disepakati semua kelompok di Golkar. Tapi saya kira itu bisa masuk akal dan menjadi langkah berani Partai Golkar. Hal itu terobosan penting sebagai upaya Golkar untuk meminimalisir praktik politik uang di Munas," tuturnya.
Sebelumnya, Ketua SC Munaslub Golkar, Nurdin Halid, sempat mengungkapkan, pihaknya akan membentuk sejumlah komite di tubuh SC untuk bisa mengawal Munaslub Partai Golkar. Salah satunya adalah komite etik yang akan mengawal dan mengawasi apabila ada calon ketua umum Partai Golkar yang terindikasi melakukan praktik politik uang.