Rabu 06 Apr 2016 20:31 WIB

Penambangan Ilegal Turunkan Populasi Gorila Kongo

Gorila
Foto: awf.org
Gorila

REPUBLIKA.CO.ID, JOHANNESBURG, AFRIKA SELATAN -- Sebuah laporan menyebutkan populasi sub-spesies gorila terbesar di dunia menurun sebesar 77 persen dalam dua dasawarsa karena penambangan coltan ilegal, bahan tambang kunci yang digunakan untuk membuat ponsel dan elektronik.

Gorilla Grauer, primata terbesar di bumi yang dapat mencapai berat 180 kilogram, ditemukan di bagian timur Republik Demokratis Kongo, dimana hasil buminya telah dijarah selama beberapa dasawarsa dikarenakan adanya konflik dan ketidakstabilan.

Sebuah laporan yang diterbitkan pada minggu ini oleh Masyarakat Konservasi Satwa Liar (WCS) dan Flora & Fauna Internasional menemukan bahwa jumlah gorila tersebut turun menjadi 3.800 ekor dari perkiraan 17.000 ekor pada 1995.

"Salah satu penyebab utama penurunan jumlah gorila Grauer itu adalah perluasan pertambangan coltan dan mineral lainnya. Sebagian besar situs pertambangan itu terletak di wilayah terpencil, yang artinya para penambang biasanya menjadikan satwa liar sebagai makanan mereka," organisasi itu mengatakan dalam sebuah pernyataan.

Pertambangan itu seringkali melibatkan pengambilan mineral secara ilegal langsung dengan menggunakan tangan atau metode seadanya yang lain.

"Meskipun dilindungi oleh undang-undang, gorila dipandang sebagai daging liar dikarenakan ukurannya yang besar dan karena mereka mudah dilacak dan dibunuh saat mereka bergerak dalam kawanannya di wilayah tempat tinggal mereka yang sempit," kelompok itu mengatakan dalam sebuah pernyataan.

Laporan terkait mengatakan terdapat tiga wilayah yang saat ini berperan sebagai kunci keselamatan sub-spesies tersebut yaitu taman Nasional Kahuzi Biega yang terletak di dekat perbatasan Rwanda, Penangkaran Gorila Punia, dan Hutan Usala yang terletak di tempat terpencil namun tidak terlindungi.

Perkiraan jumlah satwa didasarkan oleh survei lapangan menyeluruh di tempat perkembangbiakan darat dan tanda-tanda lainnya begitu pula dengan data yang diperoleh dari para penjaga hutan dan masyarakat setempat.

Penulis laporan itu mengatakan bahwa status sub-spesies itu harus dimasukkan dalam daftar "terancam punah", kategori resiko tertinggi yang dikeluarkan oleh Perserikatan internasional Konservasi Alam, yang artinya suatu satwa liar menghadapi resiko besar akan kepunahan.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement