REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kinerja dari Detasemen Khusus Antiteror 88 (Densus 88) belakangan mendapat sorotan dari publik. Hal ini terjadi setelah tewasnya terduga teroris asal Klaten, Jawa Tengah bernama Siyono (34 tahun) setelah proses penangkapan.
Demikian halnya dengan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Lembaga yang dibentuk oleh pemerintah ini dinilai belum efektif dalam memberantas terorisme. Bahkan, upaya-upaya yang telah dilakukan selama ini, dikhawatirkan berada di bawah kendali pihak asing, seperti Amerika Serikat (AS).
Menanggapi hal ini, pengamat terorisme dari Certified International Investment Analyst (CIIA), Harits Abu Ulya mengatakan Densus 88 dan BNPT perlu transparansi dalam hal kinerja memberantas terorisme. Masyarakat dinilai perlu mengetahui dasar strategi serta pola kontra terorisme apa yang telah digunakan.
"Dasar dan argumentasi dari strategi dan pola kontra terorisme yang mereka gunakan perlu diketahui, apakah semua itu mengacu kepada guide yang di sodorkan pihak asing atau genuine produk pemerintah Indonesia," ujar Harits, Jumat (25/3).
Menurut Harits, selama ini tidak ada keterbukaan yang dilakukan baik oleh Densus 88 maupun BNPT. Demikian dengan evaluasi terhadap kinerja keduanya dalam memberantas terorisme, yang dianggap belum maksimal, bahkan bertentangan dengan aturan yang ada.
"Jadi sangat wajar jika publik menilai upaya kontra terorisme sangat berkabut dan berpotensi menyimpan persoalan," kata Harits menambahkan.
Ia menjelaskan dalam 10 tahun terakhir, setidaknya 120 terduga teroris tewas dalam proses penangkapan. Selain itu, ada 40 orang yang merupakan korban salah tangkap oleh Densus 88. "Apakah keberhasilan seperti itu ukurannya?Belum lagi 80 persen lebih orang yang ditangkap mengalami penyiksaan," jelas Harits.