Rabu 23 Mar 2016 20:01 WIB

'Deparpolisasi itu Memang Terjadi'

Rep: Eko Supriyadi/ Red: Bayu Hermawan
Direktur Riset Charta Politika, Yunarto Wijaya.
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Direktur Riset Charta Politika, Yunarto Wijaya.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Isu Deparpolisasi masih terus berlangsung. Meski beberapa kali dibantah bahwa mimpi buruk bernama deparpolisasi itu belum dan tidak akan terjadi, namun pengamat politik Charta Politika Yunarto Wijaya membenarkan hal tersebut.

Ia menjelaskan, secara ilmiah derpapolisasi merupakan gejala psikologis warga yang sudah merasa jauh dengan partai dan tidak mau berjuang bersama partai. Definisi seperti itu semakin diperkuat denhan tingkat kepercayaan publik dan kepuasan publik yang semakin rendah terhadap Parpol.

''Hampir semua survei menempatkan DPR dan Parpol paling rendah. Tidak bisa dipungkiri memang tingkat kepuasan publik terhadap Parpol rendah,'' katanya dalam Dialog Kenegaraan, di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (23/3).

Lalu mengapa bisa deparpolisasi dikatakan sudah terjadi, Yunarto mengungkapkan, hal tersebut bisa dilihat dari tingkat identifikasi partai yang luar biasa turun drastis. Pada tahun1999, partisipasi politik ada di angka 86 persen. Namun saat ini, partisipasi pilitik masyarakat Indonesia hanya 20 sampai 25 persen.

Coba bandingkan dengan Amerika Serikat yang terus bertahan di angka 65 persen. Bahkan Australia bertahan di angka 80 persen. Belum lagi, partai politik sering dianggap paling korup oleh beberapa survei.

Coba lihat survei-survei tingkat kepuasan publik terhadap kinerja lembaga negara, Parpol dan DPR selalu berada dalam posisi paling buncit. DPR dalam konteks ini merupakan rumah bagi partai politik untuk melanggengkan kekuasaan dan untuk maintenance konstituen mereka.

''Hampir semua survei Pilkada orang lebih mengingkan maju lewat jalur independen. Jadi memang benar sudah terjadi deparpolisasi,'' jelasnya.

Meski, perlu digaris bawahi bahwa tidak ada korelasi antara deparpolisasi dengan munculnya calon independen. Mengapa, karena sistem tata negara Indonesia sudah memilih sistem Presidensial, dengan sistem pemilihan langsung.

"Dampaknya, rakyat sudah dilatih untuk memilih individu terbaik secara langsung dalam Pilkada, Pileg maupun Pilpres yang menyoblos individu, untuk memegang kontrak sosial," ujarnya.

Berbeda dengan sistem parlementer, yang memilih partai terbaik, dan kemudian diserahkan kepada parlemen untuk menentukan kepala eksekutif. Di Amerika serikat, tidak ada larangan untuk calon independen.

Namun, calon independen di Amerika Serikat tidak kuat karena partisipasi politik di negeri Paman Sam tersebut diatas 65 persen. Sehingga, calon independen cenderung tidak berani melawan kekuatan partai politik yang begitu besar.

''Ketika memilih individu terbaik, partai tidak boleh mengklaim hanya mereka yang boleh menentukan pemimpin. Deparpolisasi terjadi ketika partai tidak menjalankan fungsinya,'' jelasnya.

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement