Kamis 16 Feb 2023 14:46 WIB

Polemik Isu Utang Anies Rp 50 Miliar, Mengapa Baru Ramai Sekarang?

Bawaslu kini bahkan menilai soal utang Anies di Pilkada 2017 sebagai pelanggaran.

Dok. Anies Baswedan bersama Sandiaga Uno saat kampanye tahun 2017 di Jakarta.
Foto: Republika / Darmawan
Dok. Anies Baswedan bersama Sandiaga Uno saat kampanye tahun 2017 di Jakarta.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Febryan A, Wahyu Suryana, Fauziah Mursid

 

Baca Juga

Polemik isu sumbangan Rp 50 miliar untuk Anies-Sandi di Pilgub DKI 2017 masih berlanjut. Setelah diawali Sandiaga Uno sendiri, lalu dijelaskan Anies Baswedan, kini Bawaslu menganggap sumbangan itu merupakan pelanggaran soal dana kampanye.

Sebelumnya, Ketua Bawaslu RI Rahmat Bagja mengatakan, penerimaan dana Rp 50 miliar itu merupakan pelanggaran karena melampaui batas maksimal sumbangan dana kampanye yang boleh diterima calon kepala daerah. Untuk diketahui, UU Pilkada memperbolehkan calon kepala daerah menerima sumbangan dana kampanye dari perseorangan maksimal Rp 75 juta, sedangkan dari swasta maksimal Rp 750 juta. 

Anies sendiri mengakui bahwa pemberi pinjaman tidak mengharuskannya membayar utang tersebut apabila menang dalam Pilgub DKI 2017. Anies nyatanya menang. Artinya, Anies mendapatkan sumbangan dana kampanye Rp 50 miliar.

"Itu seharusnya bermasalah, seharusnya itu pelanggaran pidana. Itu pidana karena dia tidak menyebutkan itu di laporan akhir dana kampanye," kata Bagja kepada Republika, Selasa (14/2/2023) malam. 

Bagja menjelaskan, meski sumbangan dana Rp 50 miliar itu merupakan pelanggaran ketentuan dana kampanye, tapi perkara ini sulit diusut. Sebab, Pilkada 2017 sudah selesai, bahkan Anies sudah selesai menjabat sebagai gubernur DKI sejak tahun 2022 lalu. 

"Biasanya kalau pilkadanya sudah selesai, ya tidak bisa diusut. Kecuali (pelanggaran dana kampanye ini) ditemukan di awal-awal masa jabatan. Ini kan sudah selesai masa jabatannya, baru muncul. Aneh juga baru muncul sekarang, inilah repotnya kita ini," ujar Bagja. 

Pengamat komunikasi politik, Jamiluddin Ritonga menilai, tersebarnya surat perjanjian utang Anies saat Pilkada 2017 sangat politis. Ia merasa, surat perjanjian itu sengaja dibocorkan dengan tujuan untuk mempermalukan Anies. 

"Lebih jauh lagi agar masyarakat tidak mempercayai Anies," kata Jamiluddin, Selasa (14/2).

Ia menerangkan, indikasi kesengajaan itu dapat dilihat dari waktu dibocorkan surat perjanjian utang tersebut. Sebab, persoalan itu sengaja dibocorkan setelah Anies Baswedan dideklarasikan sebagai capres oleh Nasdem, Demokrat dan PKS.

Padahal, ia berpendapat, dalam surat perjanjian itu jelas dinyatakan utang akan dikembalikan bila Anies kalah dalam Pilkada 2017 dan kewajiban itu akan gugur bila Anies menang. Hasilnya, Anies dan Sandi menang dalam Pilkada DKI 2017.

Dengan begitu, Jamiluddin menilai, perjanjian utang tersebut otomatis tidak berlaku. Ia menilai, pihak pembocor surat perjanjian itu sebetulnya sudah mengetahui Anies Baswedan tidak memiliki utang terkait Pilkada DKI 2017.

"Namun, karena birahi politiknya untuk menghancurkan reputasi Anies, maka isu itu tetap saja diluncurkan ke publik," ujar Jamiluddin.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement