Selasa 08 Mar 2016 17:34 WIB

Sinar Matahari Pascagerhana yang Berbahaya untuk Mata

Rep: Dwi murdaningsih/ Red: Karta Raharja Ucu
 Siswa menguji alat buatan sendiri untuk mengamati gerhana matahari total  di Ternate. (Ilustrasi)
Foto: Reuters/Beawiharta
Siswa menguji alat buatan sendiri untuk mengamati gerhana matahari total di Ternate. (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, BELITUNG -- Indonesia akan dilalui gerhana matahari total (GMT), Rabu (9/3) besok. Banyak perbedaan yang terjadi dalam masyarakat ketika merespons GMT.

Astronom ITB Suhardja D Wiramihardja mengatakan masyarakat kini semakin teredukasi tentang fenomena alam ini. Ia mengatakan gerhana tidak berbahaya, mataharilah yang berbahaya.

Suhardja menjelaskan, sesaat sebelum gerhana matahari, bulan perlahan akan menutup matahari. Pada puncak gerhana, bulan menutup total permukaan matahari. Menjelang gerhana berakhir, bulan mulai meninggalkan matahari.

Proses bulan meninggalkan matahari terjadi secara tiba-tiba, karena memang puncak gerhana umumnya paling lama hanya berlangsung selama tujuh menit. Kali ini, di Indonesia puncak gerhana rata-rata hanya berlangsung selama dua menit.

Saat bulan mulai meninggalkan matahari perlu diwaspadai. Sebab prosesnya berlangsung begitu cepat sementara proses pupil membesar relatif lebih lambat. Kadang, mata terlambat mengantisipasi munculnya matahari setelah gerhana. Jika pupil mata belum siap menerima cahaya matahari, hal ini bisa berdampak merusak mata.

"GMT tidak berbahaya asal dilihat dengan benar, yang berbahaya itu mataharinya," kata dia, saat ditemui, Selasa (8/3) di sela-sela ekspedisi GMT menuju Belitung.

Untuk melihat matahahari secara aman, diperlukan alat dengan filter 100 ribu kali lebih rendah dibandingkan sinar matahari biasa. Filter ini harus menyaring pada semua panjang gelombang. Tidak hanya warna-warna tertentu saja atau panjang gelombang tertentu saja.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement