REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penggiat antikorupsi, Bivitri Susanti mengapresiasi langkah presiden yang memfasilitasi kesepakatan politik untuk menunda pembahasan revisi Undang-Undang No 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Meski begitu, langkah dirasa tanggung karena hanya kompromi politik sementara.
"Jadi, yang kemarin dilakukan itu, menurut kami merupakan langkah awal," kata Bivitri kepada Republika.co.id, Rabu (23/2).
Perempuan yang juga Peneliti Pusat Studi Hukum dan Konstitusi (PSHK) tersebut mengatakan, jika mau serius, seharusnya Presiden Jokowi dan DPR dalam rapat penentuan prioritas legislasi tahunan menurunkannya dari daftar prioritas, kemudian kaji dan petakan terlebih dahulu masalah-masalah dalam pemberantasan korupsi. Sebab, menurut Bivitri, masalahnya bukan terletak pada KPK-nya sebagai lembaga, melainkan dalam upaya pemberantasan korupsi.
"Harus dikaji dulu, misalnya, apakah hukum materilnya (UU Tipikor) ada yang perlu diubah, hukum acaranya dalam KUHAP, pembenahan institusional KPK (melalui peraturan internal, kan tidak semua harus dilakukan dengan UU). Setelah ada kajiannya, baru diidentifikasi lebih lanjut, UU mana saja yang perlu diubah," ucap perempuan yang akrab disapa Bibiv tersebut.
Bibiv berpendapat, bila tujuannya jelas, yaitu penguatan pemberantasan korupsi, maka sasaran revisi UU KPK tersebut bukan hanya KPK. "Yang ada skarang itu kelihatan politik legislasinya adalah untuk menyasar KPK nya belaka," kata Bivitri.
Presiden Joko Widodo kembali meminta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menunda pembahasan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Permintaan Presiden Jokowi disampaikan dalam pertemuan dengan jajaran pimpinan DPR beserta beberapa ketua fraksi di badan legislatif. Namun, penundaan itu bukan berarti rencana revisi UU tersebut dihapus dari daftar prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas).
(Baca Juga: Presiden dan DPR Seharusnya Sepakat Menarik Revisi UU KPK)